HIKING-TREKKING SKILLS
Hiking dan trekking merupakan
aktivitas petualangan yang sangat mengasyikan. Ini akan menjadi exited
dan seru apa bila kita dapat melakukannya secara menyenangkan, nyaman,
dan aman (tanpa mengalami cidera). Penguasaan
skills pergerakan dalam aktivitas ini otomatis menjadi sangat penting
begitu pula pemahaman tentang kecukupan asupan dan prilaku yang baik
saaat pemulihan (recovery). Sehingga segala kenikmatan, ketegangan dan
keseruan pengalaman ( lahir - bathin) yang ingin dicapai dapat
direalisasikan/ diwujudkan.
Berbagai variant track /jalur
(jalan setapak ) yang dilalui menjadi kenikmatan dan tantangan
tersendiri selain tentunya menikmati panorama alam pegunungan dan udara
sejuk yang bersih. Namun demikian, petualangan tidak lagi menjadi asyik
dan seru saat perjalanan terganggu oleh kondisi tubuh yang mulai
kepayahan atau bahkan mengalami cidera. Mungkin bisa jadi perjalanan itu
menjadi perjalanan terburuk yang pernah kita alami. Salah satu penyebab
utama kejadian ini adalah kemungkinan karena keterampilan berjalan kita
yang sangat minimal (rendah) atau buruk.
Karena itu, menjadi
sangat penting bagi penggiat aktivitas ini (pendaki gunung,penjelajah
dan petualang ) apa pun tujuannya, apakah baik sekedar berpetualang
atau untuk berolahraga, sangat dianjurkan untuk memiliki keterampilan
berjalan di medan mendaki dan menurun. Membuat perjalanan menjadi lebih
aman, nyaman, dan seru. Mudah-mudahan tulisan ringkas ini dapat membantu
kita semua sebagai pendaki dalam peningkatan wawasan keterampilan
berjalan sehingga dapat menjadi panduan untuk dipraktikan dalam setiap
aktivitas pendakian gunung berikutnya.
PENGENALAN MEDAN PENDAKIAN GUNUNG
Kita akan mendapatkan banyak variasi medan pendakian yang akan kita
lewati/hadapi. Sehingga kita perlu menyamakan persepsi kita tentang
beberapa pengertiannya. Beberapa pakar membaginya secara definisi yang
dihubungkan dengkan teknis pendakiannya. Salah satunya Schurman
(pakarmountaineering dan juga seorang spesialis dalam strength and
conditioning) dalam bukunya yang berjudul The Outdoor Athlete (2009)
membaginya menjadi dua “nontechnical terrain” dan “technical terrain.”
Medan non teknis dapat ditempuh dengan aktivitas hiking, trekking, dan
backpacking (terkadang scrambling, berjalan mendaki dengan sedikit
bantuan tangan) sehingga cukup jelas maksudnya bahwa medan tersebut
dapat kita lalui tanpa harus melakukan teknis tertentu yang biasanya
dihubungkan dengan aktivitas panjat tebing (rock climbing). Artinya
medan non teknis dapat kita tempuh tanpa bantuan alat-alat panjat.
Sementara medan teknis hanya dapat ditempuh dengan aktivitas
mountaineering dan rock-climbing yang memerlukan proteksi tali pengaman
dan alat-alat panjat lainnya.
Tulisan ini hanya mengupas /membahas
tentang keterampilan berjalan dalam pendakian di medan non teknis.
Termasuk di dalamnya aktivitas hiking,trekking, dan backpacking.
Sementara scrambling dan mountaineering akan dibahas dalam artikel
tersendiri.
KETERAMPILAN BERJALAN DI MEDAN PEGUNUNGAN (HIKING-TREKKING SKILLS)
Dalam aktivitas pendakian gunung yang di dalamnya terdapat berbagai
unsur gerak (berjalan mendatar, berjalan mendaki, melompat, mendaki
dengan bantuan tangan untuk keseimbangan dengan memegang pohon/batu
begitu pula sebaliknya ketika menuruni bukit, dan sebagainya) sehingga
dapat dikatakan sangat terbuka (memungkinkan banyak gerakan yang harus
dilakukan). Gerakan tersebut bisa dilakukan hingga ratusan kali bahkan
lebih hingga berjam-jam.
Sehingga diperlukan pula berbagai
aktivitas pemulihan termasuk di dalamnya pemulihan nutrisi (makan dan
minum) yang berkesinambungan agar tubuh tetap memiliki energy untuk
bergerak. Sehingga ada baiknya kita melihat aktivitas ini dari sudut
pandang kebutuhan fisik dalam bergerak dari ilmu biomekanik dalam
olahraga (sport biomechanics) dan juga kebutuhan fisik dalam memelihara
kesinambungan energinya seperti yang dikaji dalam ilmu fisiologi
olahraga (sport physiology).
Prinsip utama studi analisa gerak
manusia dalam berolahraga oleh ilmu biomekanik olahraga adalah
membantu peningkatan performa seorang atlit saat beraktivitas dalam
cabang olahraga yang ia geluti sekaligus mengurangi kemungkinan cidera
yang dapat terjadi (Roger Bartlett, Introduction to Sports Biomechanics,
2007). Sehingga dalam biomekanika olahraga, gerakan-gerakan tubuh kita
itu akan selalu dikaitkan dengan tenaga yang dikeluarkan dan juga usaha
yang dibutuhkan. Sehingga terciptalah gerakan yang paling efisien untuk
dapat memunculkan performa yang optimum sesuai dengan aktivitas yang
dibutuhkan.
Dalam pendakian gunung, walau sangat terbuka untuk
berbagai gerakan, namun yang paling mendominasi adalah gerakan berjalan.
Baik itu mendaki maupun menurun. Ini dilakukan bisa berjam-jam dengan
ribuan langkah. Sehingga untuk memelihara kesinambungan gerakan jalan
kita maka hal yang paling penting kita lakukan adalah berjalanlah
seefisien mungkin. Banyak cara yang dapat kita lakukan dengan prinsip
berjalan seefisien mungkin. Antara lain sebagai berikut;
(1)
Dengan berjalan zig-zag (seperti mengikuti alur air ketika bergerak)
sehingga naturalisasi gerakan berjalan kita masih dapat dipertahankan
dan tidak memaksan otot-otot berjalan kita bekerja terlalu keras.
(2) Menapaklah dengan telapak kaki yang penuh di setiap tanjakan/step
sehingga pembagian tenaga yang dibebani pada otot kaki kita tidak
terpusat pada salah satu otot saja. Analoginya adalah sama halnya dengan
berjalan jinjit di lantai datar yang dapat membebani otot betis kita
sehingga kalau ini sering dilakukan akan terjadi cidera (over use
syndrome).
(3) Berjalanlah dengan langkah yang tidak terlalu lebar
seperti langkah anak kecil (baby step) sehingga beban otot kita tidak
terbebani secara maksimum untuk setiap langkahnya.
(4) Berjalan
dengan fokus pada gerakan tubuh kita khususnya kaki agar tetap dapat
berjalan normal/natural. Sehingga terhindar dari langkah yang tidak
beraturan, tergelincir, atau tersandung yang bila ini kerap terjadi akan
sangat melelahkan.
Hal tersebut di atas adalah bagian yang sangat
penting yang harus kita biasakan dan kita latih saat kita berjalan di
medan pendakian kita. Walau mungkin ada hal yang juga penting perlu
ditambahkan biasanya terkait dengan pola istirahat kita, waktu bergerak,
prilaku saat istirahat dan lain-lain yang akan dibahas dalam fisiology
pendakian gunung khususnya saat pemulihan (recovery).
Hal yang perlu
diperhatikan juga bahwa banyak pendaki yang sangat terobsesi dengan
pencapaian target berdiri di puncak gunung tanpa diimbangi dengan
persiapan performa dalam bergerak turun. Hal ini dapat terjadi karena
anggapan misi utama seorang pendaki adalah sampai di puncak. Padahal itu
adalah bagian yang harus dicapai tetapi the ultimate goal kita adalah
kembali pulang dengan berbagai cerita pengalaman yang seru dan
mengasyikan. Karena itu, bergerak menuruni gunung juga harusnya menjadi
perhatian penting kita.
Bergerak menuruni bukit secara
biomekanika adalah hal yang lebih berat dibandingkan saat kita mendaki.
Karena beban gravitasi ditambah dengan gerakan kita yang searah dengan
itu (menurun) akan menghasikan dorongan yang lebih. Ini akan terasa
dampaknya saat kita menapakan satu kaki kita dibawah dan langsung
menerima energi balik dari permukaan bumi sebesar beban tubuh kita
(beserta yang melekat di dalamnya) ditambah kecepatan gerakan turun kita
dan juga gravitasi. Ini yang membuat lutut kita mudah cidera karena
otot-otot kita tidak terlatih atau dipersiapkan untuk itu. Sehingga
kembali kepada prinsip efisiensi dalam bergerak, maka kita sangat
dianjurkan untuk melakukan gerakan turun seefisien mungkin. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan antara lain:
(1) Jagalah
keseimbangan/ naturalisasi gerakan turun kita dengan memilih step
terdekat untuk menghindari tumbukan yang kuat. Bergeraklah seperti arus
air mengalir saat turun.
(2) Jangan terlalu sering membebani salah
satu kaki kita karena kebiasaan gerak kita (kecendrungan melangkah awal
dengan kaki kita yang lebih kuat). Berjalanlah turun dengan beban pada
kaki secara bergantian.
(3) Ketika mendapati step yang terjal
turuni step itu dengan memiringkan badan sehingga telapak kaki kita
bergerak hampir 90° ke arah sisi dalamnya.
(4) Bila memungkinkan
carilah kesempatan kepada tangan untuk membantu pengurangan beban
tumbukan pada kaki (mungkin dengan memegang tongkat, atau dahan pohon,
batu, dinding tanah dsb).
(5) Bila terdapat step yang cukup terjal
sebaiknya kita menuruninya dengan membalikkan tubuh kita sehingga
berhadapan dengan jalur medan terjal tersebut. (seolah-olah berjalan
mundur atau menyerupai kebalikan ketika kita bergerak naik dengan
bantuan tangan).
Selain hal-hal tersebut yang harus diperhatikan
terkait dengan biomekanika gerak dalam pendakian gunung, maka yang tidak
kalah pentingnya adalah hal-hal yang terkait dengan fisiologi
pendakiannya.
FISIOLOGI DALAM AKTIVITAS HIKING ATAU TREKKING
Brian J. Sharkey dalam bukunya Sport Physiology for Coaches (2006)
menuliskan bahwa fisiologi merupakan ilmu yang mempelajari segala hal
tentang tubuh kita dan fungsi-fungsinya. Sport physiology memperhatikan
efek-efek yang terjadi baik yang bersifat sesegera mungkin atau jangka
panjang pada latihan yang dilakukan pada otot-otot dan system tubuh.
Jadi erat hubungannya dengan peningkatan detak jantung, pernafasan, dan
suhu tubuh saat latihan. Semuanya akan terhubungkan dengan kesinambungan
energi tubuh kita dalam bergerak.
Terkait dengan kesinambungan
energi, setiap orang yang melakukan aktivitas olahraga, secara sederhana
dapat terbagi menjadi dua yaitu:
(1) Aktivitas Aerobik;
adalah bentuk aktivitas yang mengharuskan tubuh menggunakan oksigen
sebagai bagian dari sistem energinya. Banyak orang menyebutnya juga
dengan latihan endurance. Misalnya berjalan kaki, jogging, bersepeda,
senam aerobik, berenang dan lain-lain. Biasanya waktu penggunaan system
aerobic ini setelah beraktivitas lebih dari 20 detik hingga waktu yang
tak terhingga selagi bahan bakarnya tersedia (karbohidrta, lemak dan
protein).
(2) Aktivitas anaerobik; adalah bentuk aktivitas yang
tidak memerlukan oksigen dalam sistem produksi energi dalam tubuh.
Biasanya dipakai dalam latihan kekuatan maksimum dan juga sprint. Tenaga
dari system an-aerobik ini dapat dipakai hanya tidak lebih dari 20
detik saja dan berhubungan dengan Glukosa karbohidrat.
Pada
aktivitas pendakian gunung. Secara keseluruhan sistem energi yang
dipakai adalah aerobik sehingga aktivitas ini bisa dikatakan sebagai
aktivitas endurance (stamina atau daya tahan tubuh). Mungkin sesekali
tenaga anerobik akan dipakai ketika kita mengerahkan tenaga maksimum
saat menanjak secara ekstrim dalam sekian detik. Sehingga cadangan
glukosa karbohidrat kita yang nantinya tersimpan dalam bentuk glikogen
otot dan juga glukosa dalam darah tetap tersedia.
Sehubungan
dengan teknik pendakian gunung terkait dengan kondisi fisiologi tubuh,
maka kesinambungan energi pada tubuh kita harus selalu dijaga. Untuk
menjaga kesinambungan tersebut maka teknik-teknik pendakian yang telah
disebutkan pada pembahasan biomekanika dalam pendakian gunung akan
sangat relefan dengan pemeliharaan kesinambungan energi pada pembahasan
ini. Namun demikian, hal-hal penting yang harus kita perhatikan adalaha
sebagai berikut:
(1) Menjaga ritme pergerakan saat mendaki
atau saat turun pada intensitas yang tidak terlalu tinggi (kondisi
aerobik). Dengan patokan sekitar 70% dari denyut nadi maksimum per
menit. Contoh: usia pendaki 40 tahun, denyut nadi terbaik saat bergerak
dalam perjalanan diusahakan tetap constant pada denyut: 70% x (220 –
umur) = 70% x (220-40)DN/mnt= 70% x 180 DN/mnt = 126 DN/mnt..
(2)
Lakukan istirahat (recovery) yang cukup pada setiap kondisi pendakian
atau saat menurun dengan selalu berpatokan pada denyut nadi per menit.
Istirahat dianggap cukup bila denyut nadi kita sudah turun hingga posisi
60% DN maksimum
(3) Bila kita mendaki/menuruni medan yang dominan
terjal yang menyebabkan detak jantung terasa cepat maka pergerakan
hanya boleh dilakukan selama paling lama 20 detik. Setelah itu lakukan
recovery. Karena bila denyut nadi kita berada pada posisi mendekati
maksimum (80% hingga 90%) dalam waktu yang lebih dari 20 detik maka
tubuh kita akan memproduksi asam laktat sebagai hasil dari produksi
energi anaerobic yang dapat menyebabkan otot-otot menjadi kaku saat
terjadi penumpukan
(4) Lakukan recovery tiga kali lamanya waktu
usaha maksimal tersebut dengan berhenti untuk mengambil nafas dan
berjalan lambat hingga denyut kembali normal di posisi aerobik (70%)
atau kurang dari itu. Bila kita bergerak mendaki dalam kondisi denyut
maksimum selama 20 detik, beristirahatlah selama 60 detik.
(5)
Siapkan selalu glukosa sederhana (gula jawa, madu, buah-buahn seperti
pisang) pada saat pendakian yang beritme cepat. Sementara untuk
pendakian endurance yang panjang kebutuhan akan karbohidrat dan lemak
tubuh perlu selalu dijaga sehingga snack setiap 3 jam menjadi penting
(biscuit, atau cereal). Siapkan juga protein yang memadai di makan malam
kita tiga jam sebelum tidur untuk recovery jaringan otot kita yang
sudah rusak karena gerakan-gerakan pendakian kita.
HAVE A NICE CLIMBING................
Article Source:
_www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Tidak ada komentar:
Posting Komentar