STYLE ( GENDER ) PENDAKI GUNUNG
Para penggiat petualangan (pendakian gunung) paling tidak dapat di
klasifikasikan ke dalam dua “style” . Pertama adalah pendaki sebagai
seorang “sportman” dan pendaki non sport (hoby, obsesi, publisitas, doktrin, dll). Saya pikir “style” adalah pilihan dan konsekwensinya pastilah berjalan linear dengan pilihan yang kita ambil.
Seorang pendaki dengan style “Sportman” pastilah melakukan pendakiannya
dengan sangat terukur dengan kalkulasi yang sudah matang. Sehingga jika
pun terjadi musibah dalam pendakiannya, akan dievaluasi dari sisi
teknis, statistik dan probabilitas.
Lain halnya dengan pendaki
dengan gender (style) “non Sport”, kelompok ini jumlahnya mayoritas dan
tidak hanya di Indonesia. Pendaki jenis ini biasanya melakukan
pendakian/ekspedisi dengan motivasi yang bermacam2 dan cenderung
subjektif (publisitas, ambisi, doktrin, dll) sehingga yang sering
terjadi adalah melanggar norma2 yang baku, lalu ketika terjadi musibah
maka dianggap sebagai takdir Tuhan semata.
Andainya paparan ini
masih terkesan bias, saya akan coba lakukan pendekatan kasuistik dua
pendaki legendaris dunia yaitu Charles Houston (US) dan Reinhold
Messner (Italy). Dalam hal ini saya anggap Houston adalah representasi
dari pendaki Sportman, dan Messner saya anggap sebagai jenis yang kedua
(Non Sport).
Karena bergaya “Sportman”, Houston melakukan
prepare pendakian (K2-1938) nya dengan sangat matang. Tetapi ketika dia
mendapati kenyataan bahwa puncak tidak mungkin dicapai saat itu (1938)
dengan perhitungan teknisnya, ia pun turun kembali. Lima belas tahun
kemudian setelah dirasa mental, skill teknik dan teknologi pendakian
dirasakan sudah lebih mumpuni barulah dia kembali ke K2 pada tahun 1953
dan mencobanya kembali. Karena alasan keamanan dan peraturan daerah
(Perda) di pakistan, maka sherpa2 akhirnya hanya bisa membantu sampai
Camp II dan setelah itu pendakian dilakukan dengan “alpine style”
(tradisional). Karena tidak ada “high-altitude porters” maka team harus
memiliki fisik dan mental yang prima. Singkat cerita “Third American
Expedition” ini pun kandas di leher gunung karena cuaca buruk. Houston
sempat mengkalkulasikan “probability summit attempt”( mencoba
kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan summit attack) selama beberapa
hari dalam suasana terjebak badai di Camp VIII dan akhirnya karena
faktor fisik team yang tidak memenuhi syarat akhirnya Houston sebagai
leader pun memutuskan untuk turun.
Kini, keputusan sulitnya 56
tahun yang lalu itu diyakini adalah keputusan paling fantastis
(mengorbankan ego, nafsu dan ambisi mahluk manusia) untuk mencapai
puncak tapi harus dibatalkan karena kalkulasi teknis dan “probability
summit attempt” yang tidak memungkinkan untuk mencapai puncak!!!!.
Sejarah mencatat dengan tinta emas hingga saat ini bahwa seorang
Sportman tidak akan mengorbankan nyawanya, hanya untuk sekedar sampai di
puncak gunung. Ada sebuah adagium/philosophy dalam kalimat emas dunia
pendakian tentang “kebersamaan” (“WE ENTERED THE MOUNTAIN AS STRANGERS,
BUT WE LEFT IT AS BROTHERS” pengertian bebas nya kira-kira seperti
berikut ; “ KETIKA KAMI MEMASUKI DAN MENDAKI SEBUAH GUNUNG KAMI
MENGANGGAPNYA SEBAGAI MAKHLUK ASING, NAMUN KETIKA KAMI MENINGGALKAN NYA
KAMI MENGANGGAP GUNUNG INI SEBAGAI SAUDARA KAMI” ) yang saat ini
diakui di dunia, yaitu karena “prestasi” Houston dalam Third American
Expedition tahun 1953 itu.
Nah, selanjutnya adalah Reinhold
Messner. Saya setuju dengan menganalogikan messner sebagai radikal,
extrem dan revolusioner. Tetapi pencapaian messner saya pikir adalah
sebagai pembuktian ambisi, ego, nafsu pribadi untuk memberitahu dunia
bahwa “lazy climber” dengan logistik dan sherpa yang banyak ditambah
tabung oksigen yang berat adalah sebuah hal yang tidak efisien. Sisi
subjektif ini diakui secara umum di dunia pendakian dan semua pendaki
tahu bahwa apa yang dilakukan messner bukan untuk dilampaui, tetapi
sebagai bagian dari “item teknik” untuk alternatif yang sewaktu2 dapat
dilakukan (jika keadaan memaksa).
Jadi messner saya pikir
adalah pendaki dengan motivasi yang tidak sebagai “Sportman” tetapi
lebih kepada pencapaian ambisi pribadi. Dan saya pikir sejarah tidak
akan mencatat messner-messner baru dikemudian hari karena apa yang
dilakukannya bukanlah untuk dilampaui. Cukuplah menjadi seven summiters
saja prestasi tertinggi pendaki saat ini. Jika pendaki2 masa kini
berlomba2 untuk melampaui prestasi “eight-thousander” nya messner, saya
kira regenerasi pendaki akan sulit dilakukan karena pendaki2 senior yang
ada kemungkinan besar habis menjadi korban ambisi abadi umat manusia.
Cukup Jerzy Kukuczka saja yang menjadi tumbal perlombaan egoisme dan
nafsu eight-thousander.
Pemerintah nepal, china, pakistan dan
Indonesiapun pastinya akan mengeluarkan regulasi pendakian yang ketat
jika “trend” alpine style ini bertambah banyak, karena ukuran pendaki
yang layak untuk melakukan pendakian dengan gaya alpine style inipun
masih bias dan tidak baku dengan resiko kematian yang cukup tinggi. Dan
jangan lupa sisi psikologis messner dengan “alpine style” nya pun tidak
lepas dari tragedi “Diamir Face” di Nanga Parbat 1970, bukan? Mungkin
jika “first alpine style” nya di Nanga Parbat berlangsung sukses (naik
dan turun dengan jalur yang sama) dan tidak kehilangan Ghunter, saya
kira messner tidak akan sehebat sekarang.
TIPIKAL PENDAKI DI INDONESIA
Kalau kita mau jujur dan berfikirian objektif bahwa sampai saat
sekarang ini hanya sedikit pendaki yg menganut mazhab “Sportman”
sebagai acuan dalam aktivitas pendakiannya. Untunglah gunung2 di
Indonesia rata2 adalah jenis gunung berhutan tropis basah , sehingga
tidak dibutuhkan skill yang tinggi untuk mencapai titik tertinggi
puncaknya.
Pendaki Indonesia secara umum masih dalam pola pikir
mendaki puncak2 yang ada. Atau bahasa awamnya puncak 3000an sebagai
salah satu ambisi khas Indonesianis. Mencapai puncak adalah prestasi!!!
Itulah “crusial point” nya. Banyak yang tidak mengetahu 76% tragedi
pendakian adalah ketika turun dari puncak. Tragisnya lebih banyak lagi
yang tidak mau tahu /perduli, dan mereka baru mengetahui dan menyadari
setelah terjebak dalam situasi “point of no return” atau pada satu
titik tidak bisa kembali/turun disaat semua keputusan apapun yang
dibuat adalah bencana.
Sederhananya adalah sangat sedikit
pendaki kita yang mau belajar Manajemen Resiko dalam pendakian. “Failure
of Risk Management” dianggap hanyalah milik gunung2 8000an dan tidak
mungkin terjadi di Indonesia. Lalu kebanyakan langsung terjun ke
lapangan dengan keyakinan bahwa kegiatannya itu pastilah selamat dan
tidak akan terjadi musibah. Oleh karena itu kalau boleh saya memberikan
saran, kenali kemampuan kita, share dengan rekan2 sehobi, adakan trial
(latihan-latihan, simulasi) perjalanan, pematangan teknik (knowledge)
& mental, setelah semuanya matang dan stabil barulah “ PUSH YOUR
LIMIT “.
PAST IS KEY FOR THE FUTURE
Empat puluh tiga
tahun yang lalu (era 70 an )Saya pun memulai kegiatan mountaineering
ini dengan gaya yang urakan, amburadul, nekat, tanpa perhitungan dan
radikal konyol tentunya. Sok paling hebat (sotoy) dengan menjadi leader
team advance (hasilnya malah tersesat beberapa hari di dalam hutan
disebuah gunung). Namun Alhamdulillah beruntung malaikat maut tidak jadi
menjemput di beberapa titik kritis pendakian extrem masa lalu. Maka
sehingga saya masih bisa memetik pelajaran atau hikmah yang sangat
berharga dari peristiwa konyol tersebut. Dari kejadian itu tadi saya
butuh waktu lama untuk melakukan proses perubahan atau perbaikan
(manajemen, etika dan perilaku) sampai akhirnya merubah total gaya
pendakian dari “urakan” menjadi lebih tertib, disiplin dan terpogram
rapih dengan penuh perhitungan serta terukur.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Tidak ada komentar:
Posting Komentar