Selasa, 23 Juli 2013

STYLE PENDAKI GUNUNG

STYLE ( GENDER ) PENDAKI GUNUNG

Para penggiat petualangan (pendakian gunung) paling tidak dapat di klasifikasikan ke dalam dua “style” . Pertama adalah pendaki sebagai seorang “sportman” dan pendaki non sport (hoby, obsesi, publisitas, doktrin, dll). Saya pikir “style” adalah pilihan dan konsekwensinya pastilah berjalan linear dengan pilihan yang kita ambil.

Seorang pendaki dengan style “Sportman” pastilah melakukan pendakiannya dengan sangat terukur dengan kalkulasi yang sudah matang. Sehingga jika pun terjadi musibah dalam pendakiannya, akan dievaluasi dari sisi teknis, statistik dan probabilitas.

Lain halnya dengan pendaki dengan gender (style) “non Sport”, kelompok ini jumlahnya mayoritas dan tidak hanya di Indonesia. Pendaki jenis ini biasanya melakukan pendakian/ekspedisi dengan motivasi yang bermacam2 dan cenderung subjektif (publisitas, ambisi, doktrin, dll) sehingga yang sering terjadi adalah melanggar norma2 yang baku, lalu ketika terjadi musibah maka dianggap sebagai takdir Tuhan semata.

Andainya paparan ini masih terkesan bias, saya akan coba lakukan pendekatan kasuistik dua pendaki legendaris dunia yaitu Charles Houston (US) dan Reinhold Messner (Italy). Dalam hal ini saya anggap Houston adalah representasi dari pendaki Sportman, dan Messner saya anggap sebagai jenis yang kedua (Non Sport).

Karena bergaya “Sportman”, Houston melakukan prepare pendakian (K2-1938) nya dengan sangat matang. Tetapi ketika dia mendapati kenyataan bahwa puncak tidak mungkin dicapai saat itu (1938) dengan perhitungan teknisnya, ia pun turun kembali. Lima belas tahun kemudian setelah dirasa mental, skill teknik dan teknologi pendakian dirasakan sudah lebih mumpuni barulah dia kembali ke K2 pada tahun 1953 dan mencobanya kembali. Karena alasan keamanan dan peraturan daerah (Perda) di pakistan, maka sherpa2 akhirnya hanya bisa membantu sampai Camp II dan setelah itu pendakian dilakukan dengan “alpine style” (tradisional). Karena tidak ada “high-altitude porters” maka team harus memiliki fisik dan mental yang prima. Singkat cerita “Third American Expedition” ini pun kandas di leher gunung karena cuaca buruk. Houston sempat mengkalkulasikan “probability summit attempt”( mencoba kemungkinan-kemungkinan untuk melakukan summit attack) selama beberapa hari dalam suasana terjebak badai di Camp VIII dan akhirnya karena faktor fisik team yang tidak memenuhi syarat akhirnya Houston sebagai leader pun memutuskan untuk turun.

Kini, keputusan sulitnya 56 tahun yang lalu itu diyakini adalah keputusan paling fantastis (mengorbankan ego, nafsu dan ambisi mahluk manusia) untuk mencapai puncak tapi harus dibatalkan karena kalkulasi teknis dan “probability summit attempt” yang tidak memungkinkan untuk mencapai puncak!!!!. Sejarah mencatat dengan tinta emas hingga saat ini bahwa seorang Sportman tidak akan mengorbankan nyawanya, hanya untuk sekedar sampai di puncak gunung. Ada sebuah adagium/philosophy dalam kalimat emas dunia pendakian tentang “kebersamaan” (“WE ENTERED THE MOUNTAIN AS STRANGERS, BUT WE LEFT IT AS BROTHERS” pengertian bebas nya kira-kira seperti berikut ; “ KETIKA KAMI MEMASUKI DAN MENDAKI SEBUAH GUNUNG KAMI MENGANGGAPNYA SEBAGAI MAKHLUK ASING, NAMUN KETIKA KAMI MENINGGALKAN NYA KAMI MENGANGGAP GUNUNG INI SEBAGAI SAUDARA KAMI” ) yang saat ini diakui di dunia, yaitu karena “prestasi” Houston dalam Third American Expedition tahun 1953 itu.

Nah, selanjutnya adalah Reinhold Messner. Saya setuju dengan menganalogikan messner sebagai radikal, extrem dan revolusioner. Tetapi pencapaian messner saya pikir adalah sebagai pembuktian ambisi, ego, nafsu pribadi untuk memberitahu dunia bahwa “lazy climber” dengan logistik dan sherpa yang banyak ditambah tabung oksigen yang berat adalah sebuah hal yang tidak efisien. Sisi subjektif ini diakui secara umum di dunia pendakian dan semua pendaki tahu bahwa apa yang dilakukan messner bukan untuk dilampaui, tetapi sebagai bagian dari “item teknik” untuk alternatif yang sewaktu2 dapat dilakukan (jika keadaan memaksa).

Jadi messner saya pikir adalah pendaki dengan motivasi yang tidak sebagai “Sportman” tetapi lebih kepada pencapaian ambisi pribadi. Dan saya pikir sejarah tidak akan mencatat messner-messner baru dikemudian hari karena apa yang dilakukannya bukanlah untuk dilampaui. Cukuplah menjadi seven summiters saja prestasi tertinggi pendaki saat ini. Jika pendaki2 masa kini berlomba2 untuk melampaui prestasi “eight-thousander” nya messner, saya kira regenerasi pendaki akan sulit dilakukan karena pendaki2 senior yang ada kemungkinan besar habis menjadi korban ambisi abadi umat manusia. Cukup Jerzy Kukuczka saja yang menjadi tumbal perlombaan egoisme dan nafsu eight-thousander.

Pemerintah nepal, china, pakistan dan Indonesiapun pastinya akan mengeluarkan regulasi pendakian yang ketat jika “trend” alpine style ini bertambah banyak, karena ukuran pendaki yang layak untuk melakukan pendakian dengan gaya alpine style inipun masih bias dan tidak baku dengan resiko kematian yang cukup tinggi. Dan jangan lupa sisi psikologis messner dengan “alpine style” nya pun tidak lepas dari tragedi “Diamir Face” di Nanga Parbat 1970, bukan? Mungkin jika “first alpine style” nya di Nanga Parbat berlangsung sukses (naik dan turun dengan jalur yang sama) dan tidak kehilangan Ghunter, saya kira messner tidak akan sehebat sekarang.

TIPIKAL PENDAKI DI INDONESIA

Kalau kita mau jujur dan berfikirian objektif bahwa sampai saat sekarang ini hanya sedikit pendaki yg menganut mazhab “Sportman” sebagai acuan dalam aktivitas pendakiannya. Untunglah gunung2 di Indonesia rata2 adalah jenis gunung berhutan tropis basah , sehingga tidak dibutuhkan skill yang tinggi untuk mencapai titik tertinggi puncaknya.

Pendaki Indonesia secara umum masih dalam pola pikir mendaki puncak2 yang ada. Atau bahasa awamnya puncak 3000an sebagai salah satu ambisi khas Indonesianis. Mencapai puncak adalah prestasi!!! Itulah “crusial point” nya. Banyak yang tidak mengetahu 76% tragedi pendakian adalah ketika turun dari puncak. Tragisnya lebih banyak lagi yang tidak mau tahu /perduli, dan mereka baru mengetahui dan menyadari setelah terjebak dalam situasi “point of no return” atau pada satu titik tidak bisa kembali/turun disaat semua keputusan apapun yang dibuat adalah bencana.

Sederhananya adalah sangat sedikit pendaki kita yang mau belajar Manajemen Resiko dalam pendakian. “Failure of Risk Management” dianggap hanyalah milik gunung2 8000an dan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Lalu kebanyakan langsung terjun ke lapangan dengan keyakinan bahwa kegiatannya itu pastilah selamat dan tidak akan terjadi musibah. Oleh karena itu kalau boleh saya memberikan saran, kenali kemampuan kita, share dengan rekan2 sehobi, adakan trial (latihan-latihan, simulasi) perjalanan, pematangan teknik (knowledge) & mental, setelah semuanya matang dan stabil barulah “ PUSH YOUR LIMIT “.

PAST IS KEY FOR THE FUTURE

Empat puluh tiga tahun yang lalu (era 70 an )Saya pun memulai kegiatan mountaineering ini dengan gaya yang urakan, amburadul, nekat, tanpa perhitungan dan radikal konyol tentunya. Sok paling hebat (sotoy) dengan menjadi leader team advance (hasilnya malah tersesat beberapa hari di dalam hutan disebuah gunung). Namun Alhamdulillah beruntung malaikat maut tidak jadi menjemput di beberapa titik kritis pendakian extrem masa lalu. Maka sehingga saya masih bisa memetik pelajaran atau hikmah yang sangat berharga dari peristiwa konyol tersebut. Dari kejadian itu tadi saya butuh waktu lama untuk melakukan proses perubahan atau perbaikan (manajemen, etika dan perilaku) sampai akhirnya merubah total gaya pendakian dari “urakan” menjadi lebih tertib, disiplin dan terpogram rapih dengan penuh perhitungan serta terukur.



Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636

Tidak ada komentar:

Posting Komentar