MEMANG SIAPA SIH SOE HOK GIE ?
Kalau
pertanyaan ini dilontarkan kira-kira 43 tahun yang lalu kala kali
pertama saya mendak gunung( sekitar tahun 1970 ) atau sekitar 26 tahun
yang lalu kala saya masih aktif di dalam kegiatan pendakian gunung
dan operasi SAR atau di Volunteer Konservasi Alam Taman Nasional Gunung
Gede-Pangrango, saya yakin jangankan 230 juta rakyat Indonesia ( yang
pasti terbanyak tidak akan mengenal Gie), mungkin hanya sedikit sekali
para pendaki gunung, penjelajah /penggiat alam bebas atau pecinta alam
yang pernah mendengar nama yang agak sulit untuk dibaca dalam bahasa
Indonesia,. Mungkin yang mengenal Soe hanya terbatas dikalangan anggota
Mapala UI saja atau Wanadri atau para pendaki senior saja yg mengetahui
dan mengenal sepak terjang dia dalam dunia pendakian gunung. Selain
mereka, mungkin yang mengenal Gie hanyalah para demonstran angkatan 66
yang menumbangkan kekuasaan pemerintahan orde lama saja selain tentunya
mahasiswa-mahasiswa di Fakultas Sastra UI saja yang kenal dia.
Beruntung diantara jumlah yang sedikit tadi, saya termasuk di dalamnya,
karena kebetulan semua 4 kakak saya adalah mahasiswa UI (FH UI ) yang
semuanya cukup menggemari hobby mendaki gunung dan lokasi kampusnya juga
berseberangan dengan kampus Fakultas Sastra UI ( di kompleks
daksinapati rawamangun Jakarta timur). Dan mereka cukup baik berteman
dengan beberapa anak mapala UI baik yang berasal dari FHUI maupun dari
lain fakultas seperti contohnya Nanu (alm) Dono (alm) , Kasino (alm) dan
Rudy Badil , semuanya adalah personil warkop prambors). Ternyata
semua personil group pelawak atau comedian yang paling fenomenal itu
minus indro adalah semuanya adalah anggota Mapala UI. Jadi dari mereka
semua saya tidak asing dengan nama-nama soe hok gie, herman o lantang.
Rudy badil, Aristides katoppo, sinarmas jati dll.
Namun
tatkala nicolas saputra berhasil memerankan tokoh Soe di film Gie dan
meledak sukses diputar di berbagai gedung bioskop (full house) di
berbagai kota-kota di di tanah air dengan berhasil mengumpulkan jutaan
penonton ditambah beredarnya dvd-dvd (baik yang legal atau bajakan) di
banyak tempat penjualan dvd di hampir semua propinsi , seperti letusan
gunung merapi yang sangat hebat dan menjadi topik berita yang popular,
tiba-tiba nama Gie menjadi kondang dan beken ( become the famous
celebrity) di Indonesia.
Tapi meskipun masa sekarang sosok Gie
sudah demikian terkenal kalau kita mencoba untuk melemparkan
pertanyaan tentang siapa soe hok gie sebenarnya, maka kita akan
mendapatkan beragam respon atau banyak jawaban tentang siapa sosok soe
hok gie.
Sangatlah wajar jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie?
akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang
demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak
Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di
Semeru tahun 1969.
MELAMUN DI ATAS GENTENG
“Gila!
Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath
Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa
mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.
“Saya sering
mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang
kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak
perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak
sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting
rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku
yang dibacanya.
Selain membaca, Gie juga suka menulis buku
harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang
dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia
masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10
Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.
CINA NASIONALIS YANG BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang
menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969
Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah
menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan
66.
Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada
Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun
tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan
mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung
ketimbang menjadi anggota DPR-GR.
Sebagai anak muda, walaupun
suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul.
“Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan
nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil
honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa
kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata
Badil.
TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat
kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu
penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah
itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis,
Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung
Semeru.
Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki
bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke
27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap
beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat
Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat
mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.
Musibah
kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung
mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta.
Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat
itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar
kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan
pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak
kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.
Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember
1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan
kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek
pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk
sisa-sisa tulang belulang Gie.
“Serbuknya kami tebar di antara
bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di
tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang
aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia
Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan
pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek
Hokkian (dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin). Leluhur Soe Hok
Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam
memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya
dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul
Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak
keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan.
Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas
Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di
Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di
beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan,
Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya
(kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga
tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman
Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun
1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah.
Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di
Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan
Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas
gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa
Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa
angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum
ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung
tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Tidak ada komentar:
Posting Komentar