Selasa, 23 Juli 2013

MEMANG SIAPA SIH SOE HOK GIE?

MEMANG SIAPA SIH SOE HOK GIE ?

Kalau pertanyaan ini dilontarkan kira-kira 43 tahun yang lalu kala kali pertama saya mendak gunung( sekitar tahun 1970 ) atau sekitar 26 tahun yang lalu kala saya masih aktif di dalam kegiatan pendakian gunung dan operasi SAR atau di Volunteer Konservasi Alam Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, saya yakin jangankan 230 juta rakyat Indonesia ( yang pasti terbanyak tidak akan mengenal Gie), mungkin hanya sedikit sekali para pendaki gunung, penjelajah /penggiat alam bebas atau pecinta alam yang pernah mendengar nama yang agak sulit untuk dibaca dalam bahasa Indonesia,. Mungkin yang mengenal Soe hanya terbatas dikalangan anggota Mapala UI saja atau Wanadri atau para pendaki senior saja yg mengetahui dan mengenal sepak terjang dia dalam dunia pendakian gunung. Selain mereka, mungkin yang mengenal Gie hanyalah para demonstran angkatan 66 yang menumbangkan kekuasaan pemerintahan orde lama saja selain tentunya mahasiswa-mahasiswa di Fakultas Sastra UI saja yang kenal dia.

Beruntung diantara jumlah yang sedikit tadi, saya termasuk di dalamnya, karena kebetulan semua 4 kakak saya adalah mahasiswa UI (FH UI ) yang semuanya cukup menggemari hobby mendaki gunung dan lokasi kampusnya juga berseberangan dengan kampus Fakultas Sastra UI ( di kompleks daksinapati rawamangun Jakarta timur). Dan mereka cukup baik berteman dengan beberapa anak mapala UI baik yang berasal dari FHUI maupun dari lain fakultas seperti contohnya Nanu (alm) Dono (alm) , Kasino (alm) dan Rudy Badil , semuanya adalah personil warkop prambors). Ternyata semua personil group pelawak atau comedian yang paling fenomenal itu minus indro adalah semuanya adalah anggota Mapala UI. Jadi dari mereka semua saya tidak asing dengan nama-nama soe hok gie, herman o lantang. Rudy badil, Aristides katoppo, sinarmas jati dll.

Namun tatkala nicolas saputra berhasil memerankan tokoh Soe di film Gie dan meledak sukses diputar di berbagai gedung bioskop (full house) di berbagai kota-kota di di tanah air dengan berhasil mengumpulkan jutaan penonton ditambah beredarnya dvd-dvd (baik yang legal atau bajakan) di banyak tempat penjualan dvd di hampir semua propinsi , seperti letusan gunung merapi yang sangat hebat dan menjadi topik berita yang popular, tiba-tiba nama Gie menjadi kondang dan beken ( become the famous celebrity) di Indonesia.

Tapi meskipun masa sekarang sosok Gie sudah demikian terkenal kalau kita mencoba untuk melemparkan pertanyaan tentang siapa soe hok gie sebenarnya, maka kita akan mendapatkan beragam respon atau banyak jawaban tentang siapa sosok soe hok gie.

Sangatlah wajar jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.

MELAMUN DI ATAS GENTENG

“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.

“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.

Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.

CINA NASIONALIS YANG BERANI MENGKRITIK

Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.

Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.

Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.

TEWAS DI PUNCAK SEMERU

“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.
Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.

Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.

Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.

“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.

Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.

Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian (dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.

Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).

Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.

Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).

Catatan Seorang Demonstran

Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).

Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.

Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.



Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636

Tidak ada komentar:

Posting Komentar