Soe Hok Gie : GELISAH JIWA SANG PENDAKI/DEMONSTRAN TIADA BERUJUNG
Peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan itu tetap masih melekat di
benak dan jiwa Herman O Lantang, 74 tahun. (M 016-UI) … “Man, entar
turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan.
Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu
Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides
Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil,
Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada
ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir sebelum
puncak.
Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan
di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing-puing
kayu yang tertutup abu licin. Target sampai pukul 10 pagi meleset
menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda darurat), mereka
istirahat Kabut tampak tebal di puncak Semeru. Aristides, Hok Gie, Rudi,
Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul
belakangan.
“Man, jangan lama-lama di puncak, ya, cuacanya
nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides itu ditujukan kepada
Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun dari puncak dan
berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak itulah,
Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah.
Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan
tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan
dibimbing Herman.
Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu,
Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu
juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari
kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang
Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang
tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek
denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”
Herman shock dan
panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak
lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah
berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau
mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak,
saya langsung minum air sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung
tandas,” kata Herman.
Sampai kapan pun ia akan tetap ingat
tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film
tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo
berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada
film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki
firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar
seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah
saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga
punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin
ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”
============================
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah
biografi. Itu yang pertama-tama harus kita pahami. Film ini adalah
sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang
terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai
masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan.
“Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,”
kata Riri.
Di sini, tentunya disertasi John Maxwell,” Soe Hok
Gie, PERGULATAN INTELEKTUAL MUDA MELAWAN TIRANI “, menjadi tumpuan
penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu memberi konteks situasional
pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan menampilkan sosok Gie
semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat watak kritis
pemberontakannya mulai terbentuk.
Gie remaja tumbuh besar
(diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan melebihi
teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang
kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di
bilangan Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan
sempit itu, ia bergaul erat dengan anak-anak kampung.
Ayah Gie
adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan
sastrawan Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief
Budiman), tak pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing
ayahnya. “Kami sering ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan
Gadjah Mada. Gie senangnya meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti
Abraham Lincoln,” kenang Arief.
Pada waktu itu, ayahnya tak
lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami kebatinan,
buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada
Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah
sering ke sana, kumpul-kumpul membicarakan religiusitas,” kata Arief. Di
film ditampilkan peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti
Kirana), lebih menonjol dari ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby
Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu, pasif. apatis. Tatapannya
kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab, kata Arief, “Ayah
saya memang di tengah keluarga (anak, isteri & kerabat) adalah sosok
yang pendiam, tapi kalau dengan teman-temannya meriah.”
HUMANIS YANG EGALITER & PENYAYANG BINATANG
Simpati Gie pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah
suatu kali ia membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok,
teman sekolah asal Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk
menginap di rumah. Hal itu kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok
dicari bibinya. Adegan ini ada dalam film. Riri mengembangkannya. Hok
(dalam film bernama Chin Han) saat dewasa menjadi kader PKI dan akhirnya
diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini tambahan fiksi dari
saya,” kata Riri.
Dalam film tak pernah diperlihatkan hubungan
intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman mengakui, “Memang,
hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik. Kami
diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia,
karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah
semut. Gie yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong
seperlunya saja.”
“MAT GAWAT”, PAHLAWAN REVOLUSI MUDA AMPERA TRITURA 1966
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari
beraktivitas. Di Film “GIE” Riri Reza berusaha menampilkan karakter
independensi, revolusioner & egaliterian Gie. Ia muak terhadap
Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw
partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan
kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun
demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan
mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah
pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Film
menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian
Ketua Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja.
Sering saya dengar si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu
serahkan si Uban,” tutur Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie.
Herman mengakui Gie adalah “aktor intelektual” sekaligus “provokator”
yang gigih untuk membujuk mereka semua naik gunung, juga kepada para
mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik gunung adalah
Meutia Hatta (putri sulung Bung Hatta).”
Film juga menampilkan
Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan
Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat
pemberontakan Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan
berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang
disebut mobile head quarter karena berpindah-pindah itu, ia
mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah di Indonesia. Tujuannya
untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini dinamakannya Gerakan
Pembaharuan.
Awal mula Gie terlibat Gerakan Pembaharuan adalah
ketika ia sering nongkrong di bekas markas besar PSI, Jalan Cisadane,
Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan, yang pernah dipenjara
karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk untuk
mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan
Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi
sahabat-sahabat karibnya.
“Jaringan ini terdiri atas sekumpulan
unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli Londa, dan Hok
Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie Lasut.
“Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri
biasanya diselundupkan melalui pilot Garuda yang masuk dalam jaringan
kita,” kenang Boeli.
Bersama mereka, Gie menyebarkan selebaran
itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,” tutur Jopie Lasut. Di luar
itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang dianggapnya
anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di zaman Gus
Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan
mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya
pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua
Gabungan Satu Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar
tentara betul-betul mengkritik Soekarno,” demikian Suripto mengkisahkan
kembali.
Pada 1966, mahasiswa tumpah ke jalan secara
besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di Fakultas Sastra UI berpawai dari
Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang selalu resah,” kata
Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas Ekonomi UI.
Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.
Banyak yang melihat Gie sebagai sosok “MAT GAWAT”,yaitu seseorang yang
hampir selalu melihat sebuah persoalan dengan kacamata/sosok pandang
yang dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah
dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan
Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu
menyampaikan bahwa Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.
Beberapa waktu kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas
militernya. Dengan wajah serius sekali Gie berkata dengan suara seakan
memberi laporan: “Tukang copet Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap
dan akan segera bergerak begitu ada instruksi dari sini!”
“Yang gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense of dramatic -nya luar biasa,” kata Nono.
Pernah di kali lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan,
membicarakan Zainal Zakse, wartawan Harian Kami yang terluka parah
akibat tusukan bayonet dalam demo di depan Istana Presiden, 3 Oktober
1966, tiba-tiba Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan berbisik
keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion
Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan
bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar.
Tapi kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.
Karakter demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya
tajam. Ringkas. Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie
aktif menulis. “Setiap kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A.
Dahana, guru besar Jurusan Sastra Cina UI. Tulisan-tulisannya juga
dikumandangkan radio Ampera yang dikelola abangnya. “Sejak peristiwa
PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak akrab, seperlunya saja,”
kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah Mashuri, Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.
Terkadang tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa
melupakan ketika Gie ikut penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di
kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, lantaran dianggap terus mendukung
PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat tembok kantor itu begitu
cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan dokumen-dokumen di
sana….”
================================
KOBOI MUDA YANG HARUS MATI MUDA
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau
memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang
kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman.
Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau
saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya
katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
Meski Soekarno telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat
banyak teman perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim
BH dan lipstik kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk
sebagai anggota DPR-GR,” Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu
menjadi anggota Dewan sebagai wakil dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia.
“Konsepsi (philosopy) Gie mengenai peran mahasiswa
itu seperti film koboi. SANG KOBOY harus turun gunung ketika kota
kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi dan naik ke gunung lagi,” kata A.
Dahana. Pada pemerintahan yang baru, Gie juga terpana menatap fakta
adanya pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran terhadap anggota
PKI dan warga yang diduga PKI. Ia menulis tajam dan keras. Ia kecewa,
intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar Lubis termasuk yang
menyokong penahanan ini.
“Hok Gie termasuk intelektual yang
lebih awal mengkritik pembantaian PKI dan pemerintahan Rezim ORBA . Dia
termasuk di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi
Mahasiswa Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap
menulis. “Tulisan-tulisan dia sangat tajam, sampai saya harus memotong
tulisan itu banyak sekali.”
Kekecewaan lain pada Sumitro yang,
setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam kabinet Orde Baru
dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah saya
menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset,
tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.
Alinea
yang dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian
Mahasiswa Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat
senada juga dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967.
“Mereka mengeluh saya keras kepala…. But I can’t change my personality….
Pengobat dari semua kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam.
Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati.”
Dalam akhir catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan
teman-teman wanitanya. Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan
nama-nama mereka yang dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina,
dan Sunarti yang bukan nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia
cinta berat sama Maria,” ujar Herman Lantang.
Di saat kesepian,
tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie
mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami
perjuangannya. Ia terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau
ngomong soal cewek. Banyak berteori tentang cewek, sementara dirinya
sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata Boeli Londa.
Dalam film,
perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya
hendak ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan
ciuman dengan Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak
menyebut sahabat perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman
maupun Jopie Lasut tak percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya
nggak yakin Hok Gie begitu. Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi,
pasti ceweknya dulu yang memulai hahaha….”
John Maxwell
melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi
melihat masa depan negara ini.” There are men and women so lonely they
believe God too is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu
kesepian sehingga mereka percaya Tuhan pun kesepian)”, tulis Gie ketika
umurnya 19 tahun. Pada usia 27 tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian
abadinya. Dan sekarang Nicholas Saputra mengabadikan nya sebagai sebuah
piala citra .
SALAM DAMAI ( SEMESTA ALAM ) LESTARI....estepe
(Sumber: Tempo Online, 2005, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno )
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Tidak ada komentar:
Posting Komentar