Selasa, 23 Juli 2013

Mendaki Gunung Spiritual

Mendaki Gunung Spiritual

(Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini Harian Tribun Timur, Hari Rabu Tgl 29 Agustus 2012)

OLEH : ANDI SUMANGELIPU

Pernahkah anda mendaki gunung? mungkin ya, mungkin juga belum. Namun kita tahu bahwa seorang pendaki, saat memulai pendakian di kaki gunung, sudah barang tentu puncak sudah tervisualisasi dalam benak dan pikirannya. Keinginan mencapai puncak adalah suatu tujuan. Seorang pendaki baru puas jika sudah mencapai puncak. Dari ketinggian puncak sebuah gunung menciptakan suasana yang begitu sulit diucapkan dengan kata-kata. Selain keindahan panorama alam, berdiri di atas puncak suatu gunung, sadar ataupun tidak, ada sebentuk keindahan yang mengalir dalam diri kita yang mewakili kebesaran Tuhan yang tiada henti-hentinya. Begitu banyak pujian dan rasa syukur yang terucap mengalir dengan berbagai bahasa hati yang terkadang kita sendiri tidak memahami bentuknya. Pencapaian titik puncak membuat kita lupa akan sulitnya medan pendakian yang menanjak serta berbatu cadas yang terkadang harus membuat kita merayap, memanjat di tengah hujan badai, hawa dingin dan terik panas matahari.

Kepuasan yang tercipta saat mencapai titik puncak membuat kita seakan-akan lupa dengan proses perjalanan yang rumit yang bisa memakan waktu berhari-hari, tak jarang diperhadapkan dengan berbagai macam halangan dan hambatan baik berupa cuaca yang buruk maupun kemungkinan gangguan binatang buas serta kekurangan bekal bahan makanan.

Sejenak jika dipikirkan, hambatan-hambatan yang berbagai macam dalam perjalanan itu saja, dapat membuat hati kita mengurungkan niat untuk melakukan suatu pendakian.

Pendakian mencapai puncak suatu gunung, memiliki kesamaan dengan pencapaian puncak spiritual kita. Dalam mendaki puncak spiritual menjalaninya tentu saja kita akan diperhadapkan banyak hambatan berupa cobaan dan ujian dari Tuhan. Titik puncak adalah simbol dari suatu ketinggian derajat spiritual atau maqam seseorang, dan inilah yang ingin dicapai oleh setiap manusia dalam menempuh perjalanan spiritualnya.

Dalam menempuh perjalanan spiritual mencapai puncak, seorang pesuluk atau katakanlah para pencari Tuhan sebelum melakukan perjalanan terlebih dahulu melakukan persiapan-persiapan tertentu demi kelancaran suatu perjalanan. Sebagaimana seorang pendaki gunung, seorang pesuluk harus memiliki gambaran mengenai gunung yang akan didaki, jika sebelumnya belum pernah mendaki gunung maka diperlukan seorang guide atau pembimbing. Katakanlah pembimbing ini disebut seperti Rasul, Nabi, Mursyid, Avatar atau mungkin Kyai, Pendeta, Rahib, Biksu dan sebagainya. Selain itu peta perjalanan dalam hal ini adalah Syariat. Secara bahasa syariat berarti jalan, petunjuk jalan agar tidak tersesat di jalan. Jika nanti tersesat kita mesti kembali lagi ke peta syariat. Untuk melanjutkan perjalanan ke puncak.

Dalam mendaki gunung, tujuan sama, yaitu mencapai puncak, dalam hal ini adalah Tuhan. Orang boleh berbeda dalam memilih jalan, syariat, tarikat, mashab ataupun agama, namun tujuan sama yaitu puncak Tuhan. Ada yang menuju puncak dengan jalan berputar mengelilingi lereng gunung sampai akhirnya mencapai puncak. Ada yang memulai dari sebelah Utara, Selatan, Barat, dan Timur, pun sampai di puncak.

Sebahagian orang ada yang merintis, melintas, atau membuka jalan-jalan baru (tarikat baru, ajaran baru) dengan tetap berlandaskan dengan “kompas Tuhan” dan peta ketuhanan yang sudah digariskan oleh Tuhan melalui Nabi – nabi-Nya yang sampai kepada suatu kaum melalui sebuah Kitab Suci. Dan manusia pun menuju puncak.

Dalam perjalanan pun tidak semata-mata terus berjalan tanpa henti. Tapi ada pos-pos tertentu singgah untuk beristirahat atau sekedar duduk istirahat, tidur, makan dan minum (berhubungan dengan urusan duniawi) karena ini bisa menjadi bahan bakar untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Meskipun begitu, namun sebahagian kecil orang (orang istimewa), yang sudah makan garam melintasi gunung, hanya memerlukan waktu yang singkat untuk istirahat dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Ada juga yang hanya sekali atau dua kali saja singgah istirahat kemudian berjalan lagi. Orang – orang inilah yang sudah diliputi akan kerinduan dengan suasana puncak ke-Tuhanan. Di antara orang-orang istimewa ini, yang sudah sering melakukan perjalanan, yang sudah berkali-kali naik-turun gunung, ada juga yang mampu membawa “suasana puncak” di setiap pos-pos perjalanannya, sehingga dimana pun dia berada, dia senantiasa merasakan suasana seperti jika sudah berada di titik puncak gunung. Sudah tak ada lagi perbedaan baginya. Kenikmatan yang dirasakannya di puncak dapat pula dia nikmati di kaki-kaki maupun di lereng-lereng gunung. Sebegitu nikmatnya, hal yang sama dia rasakan pun jika menempuh perjalanan dengan jalan berbeda-beda, jalan berliku-liku dan kadang tersesat jauh ke dalam hutan. Baginya tak ada lagi sesat, tidak ada lagi kebuntuan. Kerapnya melakukan perjalanan sehingga dia mengenali benar setiap Inci gunung tersebut, di mana ada jalan buntu, dia sudah tahu betul, dia sudah rasakan betul, karena pernah menjalaninya. Baginya, tidak ada lagi beda antara puncak dan kaki gunung. Tidak ada lagi beda antara jalan buntu ataupun jalan yang lurus. Toh dia sudah membawa puncak gunung itu dalam dirinya. Orang seperti ini pastilah orang yang sudah pernah merasakan dan mencapai titik puncak berkali-kali.

Namun sebagian orang nampaknya lebih memilih jalan yang sudah ada, yang sudah dibuat dan dirintis oleh para pendaki ulung sebelumnya. Selain tidak berani menempuh resiko yang fatal jika merintis jalan baru, juga karena takut tak akan pernah merasakan suasana puncak karena terlalu lama menempuh suatu perjalanan yang dikarenakan terlalu seringnya singgah beristirahat (kesibukan duniawi) di dalam suatu perjalanan, ataupun terlalu lama beristirahat di setiap persinggahan dalam perjalanan atau bahkan mungkin terlalu sering mendapatkan jalan buntu dan terlalu sering tersesat dijalan. Sehingga, jangankan mencapai puncak berkali-kali, waktu habis (umur habis) sebelum pernah merasakan dan mencapai bagaimana titik puncak itu. Sehingga orang seperti saya yang masih terlena dengan suasana istirahat (duniawi) dalam pos-pos perjalanan, hanya bisa berusaha untuk memaksimalkan proses-proses dalam perjalanan. Syukur-syukur jika bisa sampai pada titik puncak, jika tidak, maka saya hanya bisa menciptakan suasana seolah-olah beginilah puncak itu, “seakan-akan” puncak, atau mencari tahu suasana puncak itu seperti apa dari para pendaki gunung yang sudah berkali-kali ke puncak gunung.



Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636

Tidak ada komentar:

Posting Komentar