Mendaki Gunung Spiritual
(Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini Harian Tribun Timur, Hari Rabu Tgl 29 Agustus 2012)
OLEH : ANDI SUMANGELIPU
Pernahkah anda mendaki gunung? mungkin ya, mungkin juga belum. Namun
kita tahu bahwa seorang pendaki, saat memulai pendakian di kaki gunung,
sudah barang tentu puncak sudah tervisualisasi dalam benak dan
pikirannya. Keinginan mencapai puncak adalah suatu tujuan. Seorang
pendaki baru puas jika sudah mencapai puncak. Dari ketinggian puncak
sebuah gunung menciptakan suasana yang begitu sulit diucapkan dengan
kata-kata. Selain keindahan panorama alam, berdiri di atas puncak suatu
gunung, sadar ataupun tidak, ada sebentuk keindahan yang mengalir dalam
diri kita yang mewakili kebesaran Tuhan yang tiada henti-hentinya.
Begitu banyak pujian dan rasa syukur yang terucap mengalir dengan
berbagai bahasa hati yang terkadang kita sendiri tidak memahami
bentuknya. Pencapaian titik puncak membuat kita lupa akan sulitnya medan
pendakian yang menanjak serta berbatu cadas yang terkadang harus
membuat kita merayap, memanjat di tengah hujan badai, hawa dingin dan
terik panas matahari.
Kepuasan yang tercipta saat mencapai
titik puncak membuat kita seakan-akan lupa dengan proses perjalanan yang
rumit yang bisa memakan waktu berhari-hari, tak jarang diperhadapkan
dengan berbagai macam halangan dan hambatan baik berupa cuaca yang buruk
maupun kemungkinan gangguan binatang buas serta kekurangan bekal bahan
makanan.
Sejenak jika dipikirkan, hambatan-hambatan yang
berbagai macam dalam perjalanan itu saja, dapat membuat hati kita
mengurungkan niat untuk melakukan suatu pendakian.
Pendakian
mencapai puncak suatu gunung, memiliki kesamaan dengan pencapaian puncak
spiritual kita. Dalam mendaki puncak spiritual menjalaninya tentu saja
kita akan diperhadapkan banyak hambatan berupa cobaan dan ujian dari
Tuhan. Titik puncak adalah simbol dari suatu ketinggian derajat
spiritual atau maqam seseorang, dan inilah yang ingin dicapai oleh
setiap manusia dalam menempuh perjalanan spiritualnya.
Dalam
menempuh perjalanan spiritual mencapai puncak, seorang pesuluk atau
katakanlah para pencari Tuhan sebelum melakukan perjalanan terlebih
dahulu melakukan persiapan-persiapan tertentu demi kelancaran suatu
perjalanan. Sebagaimana seorang pendaki gunung, seorang pesuluk harus
memiliki gambaran mengenai gunung yang akan didaki, jika sebelumnya
belum pernah mendaki gunung maka diperlukan seorang guide atau
pembimbing. Katakanlah pembimbing ini disebut seperti Rasul, Nabi,
Mursyid, Avatar atau mungkin Kyai, Pendeta, Rahib, Biksu dan sebagainya.
Selain itu peta perjalanan dalam hal ini adalah Syariat. Secara bahasa
syariat berarti jalan, petunjuk jalan agar tidak tersesat di jalan. Jika
nanti tersesat kita mesti kembali lagi ke peta syariat. Untuk
melanjutkan perjalanan ke puncak.
Dalam mendaki gunung, tujuan
sama, yaitu mencapai puncak, dalam hal ini adalah Tuhan. Orang boleh
berbeda dalam memilih jalan, syariat, tarikat, mashab ataupun agama,
namun tujuan sama yaitu puncak Tuhan. Ada yang menuju puncak dengan
jalan berputar mengelilingi lereng gunung sampai akhirnya mencapai
puncak. Ada yang memulai dari sebelah Utara, Selatan, Barat, dan Timur,
pun sampai di puncak.
Sebahagian orang ada yang merintis,
melintas, atau membuka jalan-jalan baru (tarikat baru, ajaran baru)
dengan tetap berlandaskan dengan “kompas Tuhan” dan peta ketuhanan yang
sudah digariskan oleh Tuhan melalui Nabi – nabi-Nya yang sampai kepada
suatu kaum melalui sebuah Kitab Suci. Dan manusia pun menuju puncak.
Dalam perjalanan pun tidak semata-mata terus berjalan tanpa henti. Tapi
ada pos-pos tertentu singgah untuk beristirahat atau sekedar duduk
istirahat, tidur, makan dan minum (berhubungan dengan urusan duniawi)
karena ini bisa menjadi bahan bakar untuk melanjutkan perjalanan
berikutnya. Meskipun begitu, namun sebahagian kecil orang (orang
istimewa), yang sudah makan garam melintasi gunung, hanya memerlukan
waktu yang singkat untuk istirahat dan kemudian melanjutkan
perjalanannya. Ada juga yang hanya sekali atau dua kali saja singgah
istirahat kemudian berjalan lagi. Orang – orang inilah yang sudah
diliputi akan kerinduan dengan suasana puncak ke-Tuhanan. Di antara
orang-orang istimewa ini, yang sudah sering melakukan perjalanan, yang
sudah berkali-kali naik-turun gunung, ada juga yang mampu membawa
“suasana puncak” di setiap pos-pos perjalanannya, sehingga dimana pun
dia berada, dia senantiasa merasakan suasana seperti jika sudah berada
di titik puncak gunung. Sudah tak ada lagi perbedaan baginya. Kenikmatan
yang dirasakannya di puncak dapat pula dia nikmati di kaki-kaki maupun
di lereng-lereng gunung. Sebegitu nikmatnya, hal yang sama dia rasakan
pun jika menempuh perjalanan dengan jalan berbeda-beda, jalan
berliku-liku dan kadang tersesat jauh ke dalam hutan. Baginya tak ada
lagi sesat, tidak ada lagi kebuntuan. Kerapnya melakukan perjalanan
sehingga dia mengenali benar setiap Inci gunung tersebut, di mana ada
jalan buntu, dia sudah tahu betul, dia sudah rasakan betul, karena
pernah menjalaninya. Baginya, tidak ada lagi beda antara puncak dan kaki
gunung. Tidak ada lagi beda antara jalan buntu ataupun jalan yang
lurus. Toh dia sudah membawa puncak gunung itu dalam dirinya. Orang
seperti ini pastilah orang yang sudah pernah merasakan dan mencapai
titik puncak berkali-kali.
Namun sebagian orang nampaknya lebih
memilih jalan yang sudah ada, yang sudah dibuat dan dirintis oleh para
pendaki ulung sebelumnya. Selain tidak berani menempuh resiko yang fatal
jika merintis jalan baru, juga karena takut tak akan pernah merasakan
suasana puncak karena terlalu lama menempuh suatu perjalanan yang
dikarenakan terlalu seringnya singgah beristirahat (kesibukan duniawi)
di dalam suatu perjalanan, ataupun terlalu lama beristirahat di setiap
persinggahan dalam perjalanan atau bahkan mungkin terlalu sering
mendapatkan jalan buntu dan terlalu sering tersesat dijalan. Sehingga,
jangankan mencapai puncak berkali-kali, waktu habis (umur habis) sebelum
pernah merasakan dan mencapai bagaimana titik puncak itu. Sehingga
orang seperti saya yang masih terlena dengan suasana istirahat (duniawi)
dalam pos-pos perjalanan, hanya bisa berusaha untuk memaksimalkan
proses-proses dalam perjalanan. Syukur-syukur jika bisa sampai pada
titik puncak, jika tidak, maka saya hanya bisa menciptakan suasana
seolah-olah beginilah puncak itu, “seakan-akan” puncak, atau mencari
tahu suasana puncak itu seperti apa dari para pendaki gunung yang sudah
berkali-kali ke puncak gunung.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Tidak ada komentar:
Posting Komentar