Mendaki Gunung = MENGHARGAI ARTI KEHIDUPAN
Jujur sungguh sedikit sekali orang yang bisa atau mau memahami keadaan
seseorang atau keadaan sekitarnya, jika ia tidak terjun langsung atau
mengalami sendiri apa yang dirasakan seseorang dalam kehidupannya.
Pendaki gunung atau yang banyak orang sering mengindentifikasikan
sebagai “ Pencinta Alam ??“ atau biasa disebut PA, itulah yang
pertama kali orang katakan saat melihat sekelompok orang – orang ini.
Dengan ransel serat beban, topi rimba, baju lapangan, dan sepatu gunung
yang dekil bercampur lumpur, membuat mereka kelihatan gagah. Hanya
sebagian saja yang menatap mereka dengan mata berbinar menyiratkan
kekaguman, sementara mayoritas lainnya lebih banyak menyumbangkan
cibiran, bingung, malah bukan mustahil kata sinis yang keluar dari mulut
mereka, sambil berkata dalam hatinya, “Ngapain cape – cape naik Gunung.
Pas Nyampe ke puncak, turun lagi…mana di sana dingin lagi, belum lagi
kalau kehujanan, terus keram kaki atau keram perut….haduehhh , cape
dehhh !!!!!!!”
Tapi tengoklah ketika mereka memberanikan diri
bersatu dengan alam dan dididik oleh alam. Mandiri, rasa percaya diri
yang penuh, kuat dan mantap mengalir dalam jiwa mereka. Adrenaline yang
normal seketika menjadi naik hanya untuk menjawab golongan mayoritas
yang tak henti – hentinya mencibir dan memandang rendah mereka. Dan
begitu segalanya terjadi, tak ada lagi yang bisa berkata bahwa mereka
adalah bulshit people !!!!!
Berempati pada alam semesta
sejatinya akan membuat siapapun akan lebih peduli /bersimpati dan
toleran kepada saudaranya, tetangganya, bahkan musuhnya sendiri.
Menghargai dan meyakini kebesaran Tuhan dengan segala keindahan fenomena
dan panorama alam semesta cipta karyaNYA, menyayangi sesama dan percaya
pada diri sendiri, itulah kunci yang dimiliki oleh orang – orang yang
kerap disebut petualang/penjelajah alam bebas ini. Mendaki gunung bukan
berarti menaklukan alam, tapi lebih utama adalah menaklukan diri sendiri
dari keegoisan pribadi. Selain itu dengan mendaki gunung atau memanjat
tebing adalah bentuk ekspresi atau sebuah seni yang memadukan dan
mengendalikan antara rasa takut dengan ketrampilan teknik pendakian/
pemanjatan. Mendaki gunung dan memanjat tebing adalah wujud dari sebuah
kebersamaan, persaudaraan, dan saling ketergantungan antar sesama dan
ketergantungan dengan alam bebas itu sendiri.
Dan menjadi
salah satu dari mereka bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi pandangan
masyarakat yang berpikiran negative terhadap dampak dari kegiatan ini.
Apalagi mereka sudah menyinggung soal kematian yang memang tampaknya
lebih dekat pada orang - orang yang terjun di alam bebas ini. “Mati muda
yang sia – sia.” Begitu komentar mereka saat mendengar atau membaca
anak muda yang tewas di gunung. Padahal soal hidup dan mati, di gunung
hanyalah satu dari sekian alternative dari suratan takdir. Tidak mutlak
atau mesti di gunung pun, kalau maut mau datang dia akan dating kepada
siapa pun…!!! . Bisa tewas karena kecelakaan mobil di jalan tol,
meninggal tertabrak kereta api, karena sakit mendadak (serangan jantung)
atau meninggal karena tersambar petir, kesetrum listrik dll..Kalau
selamanya kita harus takut pada kematian, mungkin kita tidak akan pernah
dilahirkan oleh Maha Pencipta.
Di gunung, di ketinggian kaki
berpijak, di sanalah tempat yang paling damai dan abadi. Dekat dengan
Tuhan dan keyakinan diri yang kuat. Saat kaki menginjak ketinggian,
tanpa sadar kita hanya bisa berucap bahwa alam memang telah menjawab
kebesaran Tuhan. Di sanalah pembuktian diri dari suatu pribadi yang
egois dan manja, menjadi seorang yang mandiri dan percaya pada kemampuan
diri sendiri. Rasa takut, cemas, gusar, gundah, dan homesick memang
ada, tapi itu dihadapkan pada kokohnya sebuah gunung yang tak mengenal
apa itu rasa yang menghinggapi seorang anak manusia. Gunung itu memang
curam, tapi ia lembut. Gunung itu memang terjal, tapi ia ramah dengan
membiarkan tubuhnya diinjak – injak. Ada banyak luka di tangan, ada
kelelahan di kaki, ada rasa haus yang menggayut di kerongkongan, ada
tanjakan yang seperti tak ada habis – habisnya. Namun semuanya itu
menjadi tak sepadan dan tak ada artinya sama sekali saat kaki menginjak
ketinggian. Puncak gunung menjadi puncak dari segala puncak. Puncak rasa
cemas, puncak kelelahan, dan puncak rasa haus, tapi kemudian semua rasa
itu lenyap bersama tirisnya angin pegunungan.
Lukisan
kehidupan pagi Sang Maha Pencipta di puncak gunung tidak bisa diucapkan
oleh kata – kata. Semuanya cuma tertoreh dalam jiwa, dalam hati. Usai
menikmati sebuah perjuangan untuk mengalahkan diri sendiri sekaligus
menumbuhkan percaya diri, rasanya sedikit mengangkat dagu masih sah –
sah saja. Hanya jangan terus – terusan mengangkat dagu, karena walau
bagaimanapun, gunung itu masih tetap kokoh di tempatnya. Tetap menjadi
paku bumi, bersahaja, dan gagah. Sementara manusia akan kembali ke urat
akar di mana dia hidup.
Ya, menghargai hidup dan arti
kehidupan adalah salah satu hasil yang diperoleh dalam mendaki gunung.
Betapa hidup itu mahal. Betapa hidup itu ternyata terdiri dari berbagai
pilihan, di mana kita harus mampu memilihnya meski dalam kondisi
terdesak. Satu kali mendaki, satu kali pula kita menghargai hidup. Dua
kali mendaki, dua kali kita mampu menghargai hidup. Tiga kali, empat
kali, ratusan bahkan ribuan kali kita mendaki, maka sejumlah itu pula
kita menghargai hidup.
Hanya seorang yang bergelut dengan
alamlah yang mengerti dan paham, bagaimana rasanya mengendalikan diri
dalam ketertekanan mental dan fisik, juga bagaimana alam berubah menjadi
seorang bunda yang tidak henti – hentinya memberikan rasa kasih
sayangnya.
Kalau golongan mayoritas masih terus saja
berpendapat minor soal kegiatan mereka, maka biarkan sajalah. Karena
siapapun orangnya yang berpendapat bahwa kegiatan ini hanya mengantarkan
nyawa saja, bahwa kegiatan ini hanya sia – sia belaka, tidak ada yang
menaifkan hal ini. Mereka cuma tak paham bahwa ada satu cara di mana
mereka tidak bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh para petualang
ini, yaitu kemenangan saat kaki tiba pada ketinggian.
Article Source:
_https://www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Tidak ada komentar:
Posting Komentar