SEBUAH INTROSPEKSI INTERNAL : KELEMAHAN PENDAKI GUNUNG
Kelemahan pendaki gunung ini yang terjadi bagi kebanyakan pendaki
gunung, dan memang tidak semua pendaki gunung. Ada juga yang kuat
berprinsip mendaki gunung selain hobby juga karena
demi alam yang disambanginya. Tentang kelemahan ini adalah yang terjadi
di gunung sejauh ini. Jadi kami tidak memvonis semata tanpa bukti dan
kenyataan, tetapi memang inilah yang terjadi, masih lemahnya para
pendaki gunung dalam berwawasan alam dan lingkungan.
Siapa yang
punya andil besar mencemarkan sejumlah gunung? Jawabannya jelas pendaki
sendiri. Bukankah yang biasa melakukan kegiatan mendaki gunung itu
pendaki. Jadi rasanya tak etis menuding pihak lain atau mengarahkan jari
telunjuk ke wajah lain. Kebiasaan mencemarkan gunung itu adalah satu
dari kekurangan yang diperbuat pendaki gunung.
Pencemaran
sejumlah gunung populer bukan hanya terjadi di Tanah Air. Sejumlah
gunung di mancanegara dengan tingkat pendakian tinggi, termasuk Everest
pun tak luput dari sampah. Bahkan atap dunia itu pernah mendapat julukan
sebagai tempat sampah tertinggi di bumi. Mulai dari sampah bekas tabung
gas, peralatan pendakian dan kemah, kotoran pendaki sampai mayat
pendaki yang tewas. Tapi tidak semua gunung populer yang tercemar.
Buktinya ada beberapa gunung di negara lain yang setiap tahun didaki
oleh ribuan pendaki, ternyata tetap bersih dan asri, bebas sampah.
Ini membuktikan bahwa gunung bisa terbebas sampah meski jalurnya gemuk (
padat ) pendaki asal setiap pendakinya mengindahkan nilai – nilai
konservasi yakni mematuhi aturan bahwa gunung bukanlah tempat sampah.
Caranya dengan menurunkan kembali sampah sendiri yang dibawa selama
pendakian. Bila ternyata dilanggar, rasanya dia termasuk dalam barisan
pendaki yang tercela.
Kelemahan yang dibuat oleh pendaki – pendaki gunung tak bertanggungjawab:
1. ANDIL MENCEMARI LINGKUNGAN GUNUNG
Melakukan berbagai bentuk pencemaran di gunung selama pendakian seperti
membuang sampah ( tidak membawa turun sampah yang dibawanya ),
mengotori sumber mata air, dan atau membawa barang / zat yang
mencemarkan bumi, air, dan udara dalam jangka lama.
2. IKUT MERUSAK KEASRIAN GUNUNG
Melakukan bermacam pengrusakan seperti mencorat – coret batu, batang
pohon, pos shelter ( vandalisme ), menebang pohon tanpa batas, mengambil
flora dan fauna langka dan khas gunung setempat, bertindak sembrono
hingga mengakibatkan kebakaran hutan, savana dll seperti membuang
puntung rokok yang masih menyala sembarangan, dan lalai mematikan dengan
seksama bekas api unggun atau memasak.
3. MEMBAWA ‘SAMPAH’ PRIBADI
Mengikut sertakan perilaku negatif dari tempat asal / kota ke gunung
seperti membawa minuman keras dan meminumnya hingga lupa diri,
mengenakan pakaian yang kurang sopan hingga jadi pusat perhatian dan
omongan, bergaya ke kota – kotaan, angkuh, individualitis, dan sok pamer
hingga secara tidak langsung mencemari dan merusak budaya penduduk di
kaki gunung setempat.
4. EKSPEDISI TIDAK RAMAH LINGKUNGAN
Melakukan ekspedisi seperti membuat jalur pendakian baru tanpa
mengindahkan nilai – nilai konservasi. Semata hanya mencari sensasi,
prestasi, dan atau keuntungan pribadi. Seenaknya membabat hutan,
kemudian mengajak pendaki – pendaki baru untuk menggunakan jalur
tersebut lalu mengkomersialkannya.
5. MENGADAKAN PENDAKIAN MASSAL NON KONSERVATIF
Membuat pendakian dengan peserta dalam jumlah besar tanpa berkonsep
konservatif. Justru hanya memindahkan sampah pribadi dan kelompok ke
gunung hingga kian memparah pencemaran dan pengrusakan gunung.
6. MEMBERIKAN DATA YANG KELIRU
Memberikan informasi yang salah mengenai sejarah, karakter gunung, dan
hasil pencatatan perubahan terbaru baik ketinggian puncak gunung dan
lainnya.
7. BERSIKAP MASA BODOH
Tidak menghargai adat
istiadat maupun kearifan lokal, aturan tidak tertulis atau tabu penduduk
setempat dalam menjaga keasrian alam gunung. Masa bodoh melihat pendaki
melakukan pencemaran dan mendiamkannya.
8. PASIF
Berdiam diri, tidak peduli soal pencemaran dan pengrusakan yang
dilakukan oleh pendaki. Menganggap masalah tersebut adalah urusan LSM
lingkungan, penjaga taman nasional, porter, dan lainnya. Padahal pendaki
yang punya andil besar terjadinya persoalan tersebut.
9. MENCARI KEUNTUNGAN SEMATA
Hanya mencari keuntungan dari kegiatan mengorganisir pendakian atau
hanya sekadar mendapatkan kenikmatan mendaki ( mountain climbing just
for fun ), tanpa melakukan dan atau berperan aktif mensosialisasikan
pendakian bernilai konservasi.
10. TIDAK MEWARISI PENGETAHUAN TENTANG PENDAKIAN KONSERVATIF
Hanya mewarisi semangat mengajak mendaki gunung kepada orang – orang
baru dengan berbagi cara, tanpa dibarengi semangat melakukan dan
mensosialisasikan pendakian konservatif. Akibatnya lahir generasi
pendaki yang antipati lingkungan. Dengan kata lain hanya membentuk
mental pendaki senang – senang bukan pendaki konservatif .
Kelemahan – kelemahan pendaki di atas mungkin pernah dilakukan oleh kita
saat mendaki, baik disengaja ataupun tidak. Untuk menebusnya cukup
mudah. Tidak melakukan pencemaran dan pengrusakan lagi dan ikut aktif
menyuarakan semangat pendakian konservatif di gunung manapun dan
kapanpun. Jadi, sepagi mungkin kita hindari perbuatan tercela tersebut
di atas.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Database Penggiat Alam Indonesia
Sekelumit Catatan Penggiat Alam Indonesia
Selasa, 23 Juli 2013
Herman O (nesimus) Lantang
Herman O (nesimus) Lantang
Herman Lantang adalah mantan mahasiswa jurusan antropologi di FSUI dan juga mantan ketua senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 60-an. Dia juga salah satu pendiri Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) UI dan pernah mengetuai organisasi itu pada periode ’72—’74.
Bersama sahabatnya, Soe Hok Gie, dia juga menjadi inspirator gerakan demo long march mahasiswa UI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca G 30 S dan semasa Tritura.
Hingga sebelum film biografi “GIE” muncul di layar perak, tak banyak orang yang menggubris kehadiran tokoh yang satu ini, kecuali, lagi-lagi, komunitas pencinta alam, yang sangat mengagungkan sikapnya yang tetap rendah hati.
Sebenarnya, laki-laki berusia 74 th yang kini lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di rumah, dilahirkan di sudut kota kecil -Tomohon-, sebuah kota administrasi di propinsi Sulawesi Utara, 67 tahun silam. Dalam buku baptisnya ia diberi nama: Herman Onesimus Lantang.
Kegemarannya terhadap alam pun mulai timbul ketika ayahnya yang saat itu berprofesi sebagai tentara sering mengajaknya keluar – masuk hutan di kawasan Tomohon untuk berburu. Dari situ, lambat laut, kecintaannya terhadap hutan yang sarat aroma sarasah dan petualangan timbul.
Lalu, setelah tamat dari Europrrshe Lagere School; SR GMIM4 (baca: setaraf SD), herman kecil melanjutkan ke SMPK Tomohon. Herman mulai hijrah ke ibukota bersama orangtuanya yang saat itu dipindahtugaskan ke daerah baru. Kemudian di Jakarta inilah ia melanjutkan kembali pendidikan formalnya, ketika di terima di SMA 1 (Budi Utomo) pada tahun 1957.
Tak puas sampai disitu, Herman mulai melirik perguruan tinggi yang menurutnya akan memberikan sistem pendidikan terbaik. Saat itu, di tahun 1960, melalui segudang test yang cukup rumit, ia pun berhasil di terima di Fak. Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Anthropologi yang banyak berkutat dengan kebudayaan dan perilaku manusia sejak mulanya. Melalui jurusan ini pula ia sempat melakukan penelitian mendalam terhadap perilaku suku terasing –-Dhani– di Papua pada tahun 1972, yang mengantarkannya mencapai gelar sarjana penuh.
Selama menjadi mahasiswa, pribadi yang tangguh dengan idiologi sosialisnya mulai terbentuk. Melihat banyak rekan-rekan seangkatannya yang lebih memilih jalur politik praktis untuk mencapai kemapanan. Ia dan rekan lainnya malah memilih alam sebagai media pengembangan diri. Menurutnya, hanya di alam kita bisa mengenal karakter masing-masing yang sebenarnya. Tak ada yang tersembunyi. Di alam pula kita bisa memupuk rasa solidaritas dan kecintaan terhadap ciptaan Tuhan yang bisa dinikmati.
”Politik tai kucing”, Begitu tutur Herman Lantang, sahabat Soe Hok Gie ketika senat mahasiswa tidak menjadi sesuatu seperti harapan Soe serta kawan-kawannya yang lebih memilih menikmati film dan naik gunung; bukan serta-merta mengidentifikasi dirinya dalam organisasi mahasiswa tertentu di dalam kampus. Dalam jurnal harian Soe yang kemudian dibukukan dan dicetak oleh LP3ES “Catatan Seorang Demonstran”, Gie juga menulis bahwa politik itu kotor.
Kemudian, ketika tak lagi berkegiatan di dalam kampus, jiwa petualangan pula yang membuat Herman bisa di terima di beberapa perusahaan pengeboran minyak ternama, seperti: Oil Field all part of Indonesia, East Malaysia Egypt dan Australia East Texas USA. Di perusahaan tersebut ia lebih terkenal sebagai Mud Doctor, yang menangani masalah lumpur-lumpur dalam pengeboran minyak bumi. Sebuah pekerjaan yang memang sangat jauh dari disiplin ilmu yang dulunya hanya Fakultas Sastra. Namun untuk profesi barunya itu, ia tidak main-main. Herman bahkan sempat mengecam pendidikan singkat di Houston Texas pada tahun 1974 mengambil studi tentang “Mud School”.
Keluarga Pendaki
Menularkan kecintaan pada gunung dilakukan Herman sejak awal kepada istrinya, Joyce Moningka, 55 tahun, dan dua anak mereka, Erol Lantang (24 tahun) dan Cernan Lantang (21 tahun). Langkah pertama adalah pada sang istri yang bukan ”anak gunung”, karena paling banter piknik ke kawasan pegunungan. Awalnya, Herman membawa mereka ke lembah Mandalawangi-Pangrango, berangkat dari Cibodas. ”Saya kawin telat. Usia saya waktu itu 41 tahun sedangkan istri saya 29 tahun. Beda usia kami jauh sekali, tapi kami sangat mesra sampai sekarang karena ya itu tadi, sering jalan-jalan ke gunung.”
Pada Oktober 2007 dia mengalami kecelakaan saat bekerja di Balikpapan sehubungan dengan pofesinya sebagai seorang ahli pengeboran. Namun, tidak menunggu lama untuk istirahat, laki-laki asal Tomohon ini naik gunung lagi. Dalam kondisi kaki pincang, ia mendaki Gunung Mahawu di Sulawesi Utara sebagai tahap penyembuhan. ”Dua minggu lagi saya ke Pangrango. Kuncinya adalah persiapan,” nada Herman mantap. Persiapan inilah yang menurut Herman seringkali diremehkan para pendaki berusia muda. Ketika ke Gunung Gede yang dianggap memiliki tingkat kesulitan rendah, Herman tetap berpakaian lengkap, yakni baju lengan panjang, celana panjang, bersepatu, dan membawa trekking pole (sepasang tongkat untuk mendaki), sementara itu, tak sedikit ia temui pemuda bercelana pendek dan bersandal gunung saja saat mendaki atau saat turun gunung.
”Saya dan istri bisa terus menikmati gunung sampai sekarang kami sama-sama tua ini karena mendaki dilakukan dengan benar. Naik gunung bukan olahraga yang berbahaya kok.” Bertanya apa enaknya naik gunung tentu akan mendapat jawaban berbeda antara pendaki yang berusia muda dan pendaki yang sudah makan asam garam macam Herman. Di usianya kini tujuan Herman ke gunung hanyalah untuk merasakan udara bersih. Gunung juga jadi ”tempat berobat” untuk penyakit-penyakit ringan. ”Kalau pilek atau batuk ringan saja, pergilah ke gunung. Begitu turun gunung, pasti sembuh. Di gunung udaranya bersih, bisa menghilangkan penyakit.” Belakangan ini, perhatian Herman banyak tertumpah ke buku yang sedang digarapnya yang membahas 85 gunung di Pulau Jawa, termasuk gunung-gunung kecil macam Gunung Sanggabuana di Karawang Jawa Barat. Kegiatan mengumpulkan materi ini agak tertahan setelah kecelakaan. ”Sekarang, saya sedang butuh petualang untuk meng-up-date apa yang sudah saya tulis sekaligus menyelesaikannya.” Petualang muda, apa ada yang mau?
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Herman Lantang adalah mantan mahasiswa jurusan antropologi di FSUI dan juga mantan ketua senat Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tahun 60-an. Dia juga salah satu pendiri Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) UI dan pernah mengetuai organisasi itu pada periode ’72—’74.
Bersama sahabatnya, Soe Hok Gie, dia juga menjadi inspirator gerakan demo long march mahasiswa UI untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pasca G 30 S dan semasa Tritura.
Hingga sebelum film biografi “GIE” muncul di layar perak, tak banyak orang yang menggubris kehadiran tokoh yang satu ini, kecuali, lagi-lagi, komunitas pencinta alam, yang sangat mengagungkan sikapnya yang tetap rendah hati.
Sebenarnya, laki-laki berusia 74 th yang kini lebih banyak menghabiskan sisa hidupnya di rumah, dilahirkan di sudut kota kecil -Tomohon-, sebuah kota administrasi di propinsi Sulawesi Utara, 67 tahun silam. Dalam buku baptisnya ia diberi nama: Herman Onesimus Lantang.
Kegemarannya terhadap alam pun mulai timbul ketika ayahnya yang saat itu berprofesi sebagai tentara sering mengajaknya keluar – masuk hutan di kawasan Tomohon untuk berburu. Dari situ, lambat laut, kecintaannya terhadap hutan yang sarat aroma sarasah dan petualangan timbul.
Lalu, setelah tamat dari Europrrshe Lagere School; SR GMIM4 (baca: setaraf SD), herman kecil melanjutkan ke SMPK Tomohon. Herman mulai hijrah ke ibukota bersama orangtuanya yang saat itu dipindahtugaskan ke daerah baru. Kemudian di Jakarta inilah ia melanjutkan kembali pendidikan formalnya, ketika di terima di SMA 1 (Budi Utomo) pada tahun 1957.
Tak puas sampai disitu, Herman mulai melirik perguruan tinggi yang menurutnya akan memberikan sistem pendidikan terbaik. Saat itu, di tahun 1960, melalui segudang test yang cukup rumit, ia pun berhasil di terima di Fak. Sastra Universitas Indonesia, Jurusan Anthropologi yang banyak berkutat dengan kebudayaan dan perilaku manusia sejak mulanya. Melalui jurusan ini pula ia sempat melakukan penelitian mendalam terhadap perilaku suku terasing –-Dhani– di Papua pada tahun 1972, yang mengantarkannya mencapai gelar sarjana penuh.
Selama menjadi mahasiswa, pribadi yang tangguh dengan idiologi sosialisnya mulai terbentuk. Melihat banyak rekan-rekan seangkatannya yang lebih memilih jalur politik praktis untuk mencapai kemapanan. Ia dan rekan lainnya malah memilih alam sebagai media pengembangan diri. Menurutnya, hanya di alam kita bisa mengenal karakter masing-masing yang sebenarnya. Tak ada yang tersembunyi. Di alam pula kita bisa memupuk rasa solidaritas dan kecintaan terhadap ciptaan Tuhan yang bisa dinikmati.
”Politik tai kucing”, Begitu tutur Herman Lantang, sahabat Soe Hok Gie ketika senat mahasiswa tidak menjadi sesuatu seperti harapan Soe serta kawan-kawannya yang lebih memilih menikmati film dan naik gunung; bukan serta-merta mengidentifikasi dirinya dalam organisasi mahasiswa tertentu di dalam kampus. Dalam jurnal harian Soe yang kemudian dibukukan dan dicetak oleh LP3ES “Catatan Seorang Demonstran”, Gie juga menulis bahwa politik itu kotor.
Kemudian, ketika tak lagi berkegiatan di dalam kampus, jiwa petualangan pula yang membuat Herman bisa di terima di beberapa perusahaan pengeboran minyak ternama, seperti: Oil Field all part of Indonesia, East Malaysia Egypt dan Australia East Texas USA. Di perusahaan tersebut ia lebih terkenal sebagai Mud Doctor, yang menangani masalah lumpur-lumpur dalam pengeboran minyak bumi. Sebuah pekerjaan yang memang sangat jauh dari disiplin ilmu yang dulunya hanya Fakultas Sastra. Namun untuk profesi barunya itu, ia tidak main-main. Herman bahkan sempat mengecam pendidikan singkat di Houston Texas pada tahun 1974 mengambil studi tentang “Mud School”.
Keluarga Pendaki
Menularkan kecintaan pada gunung dilakukan Herman sejak awal kepada istrinya, Joyce Moningka, 55 tahun, dan dua anak mereka, Erol Lantang (24 tahun) dan Cernan Lantang (21 tahun). Langkah pertama adalah pada sang istri yang bukan ”anak gunung”, karena paling banter piknik ke kawasan pegunungan. Awalnya, Herman membawa mereka ke lembah Mandalawangi-Pangrango, berangkat dari Cibodas. ”Saya kawin telat. Usia saya waktu itu 41 tahun sedangkan istri saya 29 tahun. Beda usia kami jauh sekali, tapi kami sangat mesra sampai sekarang karena ya itu tadi, sering jalan-jalan ke gunung.”
Pada Oktober 2007 dia mengalami kecelakaan saat bekerja di Balikpapan sehubungan dengan pofesinya sebagai seorang ahli pengeboran. Namun, tidak menunggu lama untuk istirahat, laki-laki asal Tomohon ini naik gunung lagi. Dalam kondisi kaki pincang, ia mendaki Gunung Mahawu di Sulawesi Utara sebagai tahap penyembuhan. ”Dua minggu lagi saya ke Pangrango. Kuncinya adalah persiapan,” nada Herman mantap. Persiapan inilah yang menurut Herman seringkali diremehkan para pendaki berusia muda. Ketika ke Gunung Gede yang dianggap memiliki tingkat kesulitan rendah, Herman tetap berpakaian lengkap, yakni baju lengan panjang, celana panjang, bersepatu, dan membawa trekking pole (sepasang tongkat untuk mendaki), sementara itu, tak sedikit ia temui pemuda bercelana pendek dan bersandal gunung saja saat mendaki atau saat turun gunung.
”Saya dan istri bisa terus menikmati gunung sampai sekarang kami sama-sama tua ini karena mendaki dilakukan dengan benar. Naik gunung bukan olahraga yang berbahaya kok.” Bertanya apa enaknya naik gunung tentu akan mendapat jawaban berbeda antara pendaki yang berusia muda dan pendaki yang sudah makan asam garam macam Herman. Di usianya kini tujuan Herman ke gunung hanyalah untuk merasakan udara bersih. Gunung juga jadi ”tempat berobat” untuk penyakit-penyakit ringan. ”Kalau pilek atau batuk ringan saja, pergilah ke gunung. Begitu turun gunung, pasti sembuh. Di gunung udaranya bersih, bisa menghilangkan penyakit.” Belakangan ini, perhatian Herman banyak tertumpah ke buku yang sedang digarapnya yang membahas 85 gunung di Pulau Jawa, termasuk gunung-gunung kecil macam Gunung Sanggabuana di Karawang Jawa Barat. Kegiatan mengumpulkan materi ini agak tertahan setelah kecelakaan. ”Sekarang, saya sedang butuh petualang untuk meng-up-date apa yang sudah saya tulis sekaligus menyelesaikannya.” Petualang muda, apa ada yang mau?
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
KERESAHAN JIWA “HERMAN O. LANTANG ( M-016-UI )”
KERESAHAN JIWA “ HERMAN O. LANTANG ( M-016-UI ) ”
“Gue kurang suka dan sesuai dengan kehidupan politik. Terlalu membual. Sementara ada banyak hal yang harus dipecahkan tidak lewat kebohongan dan lobi-lobi ga mutu, melainkan dengan kejujuran dan hati nurani. Rasanya gue gak bisa masuk dalam dunia kayak gitu. Mungkin kehidupan seperti inilah (dekat dengan alam) yang membuat gue nyaman dan tenang “.
“Banyak ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa sekarang ketika mereka teriak-teriak di depan MPR atau Istana Negara. Mereka membela rakyat memang, tapi dibelakangnya terdapat kepentingan banyak pihak yang mem-backing-nya. Sama satu lagi, dulu kita bergerak atas dasar hati nurani dan spontanitas. Beda ketika melihat mahasiswa sekarang berdemo. Mereka kebanyakan bergerak karena ada dorongan dari orang-orang yang gak bertanggung jawab. Jujur, gue sedih dengan keadaan seperti ini”.
“Mereka itu (mantan aktifis mahasiswa reformasi 1998 yg sekarang menjadi wakil rakyat di DPR/DPRD ) sama halnya dengan orang-orang yang mencoba memanfaatkan keadaan saat gue dulu berjuang di tahun ’66. Gue, Gie, Aristides, Idhan, Yopi, dll tentunya akan merasa sedih ketika mendapati di jaman sekarang masih ada aja orang macam itu. Jangan sampai seperti itu . Bilangin kesemua teman-teman loe sesama mahasiwa!”
“Ketika loe melihat ketidakjujuran sudah mulai berjangkit dimana-mana. Sudah selayaknya anak muda untuk bergerak. Tapi satu catatan yang harus diingat. Pakai hati nurani. Kembangkan gerakan loe atas dasar cinta, komitmen, dan konsistensi untuk merubahnya menjadi lebih baik. Jangan lupa juga untuk menjaga alamnya. Percuma sistem berhasil tapi kondisi lingkungannya parah. Gue harap manusia muda Indonesia bisa membawa bangsa ke keadaan yang lebih sejahtera dan beradab”.
( HERMAN.O. LANTANG ; one of the founding father of MAPALA UI )
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
“Gue kurang suka dan sesuai dengan kehidupan politik. Terlalu membual. Sementara ada banyak hal yang harus dipecahkan tidak lewat kebohongan dan lobi-lobi ga mutu, melainkan dengan kejujuran dan hati nurani. Rasanya gue gak bisa masuk dalam dunia kayak gitu. Mungkin kehidupan seperti inilah (dekat dengan alam) yang membuat gue nyaman dan tenang “.
“Banyak ketidakjujuran yang dilakukan mahasiswa sekarang ketika mereka teriak-teriak di depan MPR atau Istana Negara. Mereka membela rakyat memang, tapi dibelakangnya terdapat kepentingan banyak pihak yang mem-backing-nya. Sama satu lagi, dulu kita bergerak atas dasar hati nurani dan spontanitas. Beda ketika melihat mahasiswa sekarang berdemo. Mereka kebanyakan bergerak karena ada dorongan dari orang-orang yang gak bertanggung jawab. Jujur, gue sedih dengan keadaan seperti ini”.
“Mereka itu (mantan aktifis mahasiswa reformasi 1998 yg sekarang menjadi wakil rakyat di DPR/DPRD ) sama halnya dengan orang-orang yang mencoba memanfaatkan keadaan saat gue dulu berjuang di tahun ’66. Gue, Gie, Aristides, Idhan, Yopi, dll tentunya akan merasa sedih ketika mendapati di jaman sekarang masih ada aja orang macam itu. Jangan sampai seperti itu . Bilangin kesemua teman-teman loe sesama mahasiwa!”
“Ketika loe melihat ketidakjujuran sudah mulai berjangkit dimana-mana. Sudah selayaknya anak muda untuk bergerak. Tapi satu catatan yang harus diingat. Pakai hati nurani. Kembangkan gerakan loe atas dasar cinta, komitmen, dan konsistensi untuk merubahnya menjadi lebih baik. Jangan lupa juga untuk menjaga alamnya. Percuma sistem berhasil tapi kondisi lingkungannya parah. Gue harap manusia muda Indonesia bisa membawa bangsa ke keadaan yang lebih sejahtera dan beradab”.
( HERMAN.O. LANTANG ; one of the founding father of MAPALA UI )
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
MELATI DARI JAYA GIRI YANG TETAP MEWANGI TAK PERNAH PUDAR DAN LAYU
MELATI DARI JAYA GIRI YANG TETAP MEWANGI TAK PERNAH PUDAR DAN LAYU
[Abah Iwan (Ridwan Armansjah) Abdulrachman (W Singawalang)]
Ridwan Armansjah Abdulrachman, atau yang akrab disapa Abah Iwan, lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 3 September 1947. Beliau merupakan sosok pengarang lagu-lagu fenomenal seperti Mentari, Melati dari Jayagiri, Hymne UNPAD, juga Hymne Wanadri. Penyanyi legendaris di tahun ’70-’80-an macam Bimbo dan Vina Panduwinata pernah menyanyikan lagu ciptaan abah Iwan.
Atas jasanya menciptakan lagu yang memberikan inspirasi bagi generasi muda Indonesia, pada momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-79 tahun 2007 pemerintah menganugerahinya piagam penghargaan berupa “Satya Lancana Wirakarya”. Penghargaan tersebut diberikan oleh Menpora, yang saat itu dijabat oleh Adhyaksa Dault.
Abah Iwan dikenal sebagai sosok yang pecinta lingkungan. Bahkan rumahnya yang terletak di kawasan Cigadung tampak rimbun dan asri dengan berbagai tanaman. Jadi, slogan cinta lingkungan benar-benar ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Fisiknya yang senantiasa tampak bugar, tak lepas dari aktivitasnya yang tak jauh dari olahraga. Pencak Silat yang ia tekuni sejak kecil, dan bersepeda. Malah pada tahun ’80-an hingga pertengahan ’90-an, alumni Fakultas Pertanian UNPAD ini mengikuti berbagai kursus kemiliteran yang dilangsungkan di Amerika, dan Inggris, maupun di Indonesia sendiri. Banyak para pendaki yang belum mengetahui bahwa pendekar silat tajimalela ini juga sudah lama menjadi anggota kehormatan KOPASSUS.
Menurut salah satu sahabat lamanya ( Suparkah/ W. Lawang Angin), abah iwan ompong ini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan teman-teman yang lain, baik yang tergabung di wanadri maupun teman abah iwan non wanadri. Diantara kelebihan ini adalah ketangguhan fisik, berani menerima tantangan dengan segala resikonya, solidaritas yang kuat dengan teman-teman. Dan menurut Suparkah pula bahwa abah Iwan sangat perasa, mempunyai kepekaan yang sangat tajam, sentimental dan romantis. Semuanya ini tercermin dan nampak pada kebanyakan lagu-lagu ciptaan nya yang masterpiece seperti Melati Dari Jayagiri, Flamboyan, Sejuta Kabut, Seribu Mil Lebih Sedepa, Burung Camar, Berguru Pada Saliara, Nyanyian Langit dll.
“ Kerusakan lingkungan di cekungan Bandung? Sudah sangat, sangat parah, dan prediksi kerusakan lingkungan di Bandung Utara akan semakin parah, kecuali segera semua pihak, sekali lagi, semua pihak, menyadari dan ikhlas menyelaraskan perilaku masing-masing dengan gagasan-gagasan yang disimpulkan oleh para ahli. Pasti butuh kerelaan berkorban dan ketegasan. Harus ada semacam "revolusi sikap", kesadaran dan tekad bersama; saling mendukung dan saling mengingatkan; demi anak cucu. Kita ke depan dan demi catatan amal baik/ amal buruk setiap kita masing-masing. Dan, jangan lupa catatan ini dibawa mati, jadi bahan pertimbangan di "alam sana".
“ Menyadari keadaan hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan hutan Sancang di tempat akang Garut Selatan, dirusak dengan berbagai alasan, yang kadang-kadang seolah-olah baik dan bahkan oleh orang-orang yang kita kenal, sungguh pilu! di dalam lagu "Nyanyian Langit" saya tulis: dan air mata meleleh didalam hatiku. Sekalipun kita kejar dengan ramai-ramai menanam pohon sebanyak-banyaknya, tidaklah mungkin mampu mengimbangi kehilangan pohon-pohon dengan ekosistemnya yang umurnya mungkin ratusan tahun. Namun, saya teringat riwayat yang diceritakan orang-orang tua kita bahwa konon Rasulullah SAW pernah berujar, seandainya pun esok hari kiamat, bila ada saja sebiji kurma di tanganmu, tanamkanlah itu!”
Di usianya yang menginjak 66 tahun, ia tidak ingin hanya sekedar duduk santai di teras rumah, atau bergelut dengan penyakit serius. Bahkan bapak lima anak tersebut belum ingin berhenti naik gunung, meski kini tak lagi sampai puncak.
Di antara seabrek aktivitasnya, hal terpenting bagi salah satu the legend Wanadri ini adalah selalu bersyukur dan berdoa. Hingga ia terus berusaha mengisi waktu hidup dengan kegiatan bermakna.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
[Abah Iwan (Ridwan Armansjah) Abdulrachman (W Singawalang)]
Ridwan Armansjah Abdulrachman, atau yang akrab disapa Abah Iwan, lahir di Sumedang, Jawa Barat, pada 3 September 1947. Beliau merupakan sosok pengarang lagu-lagu fenomenal seperti Mentari, Melati dari Jayagiri, Hymne UNPAD, juga Hymne Wanadri. Penyanyi legendaris di tahun ’70-’80-an macam Bimbo dan Vina Panduwinata pernah menyanyikan lagu ciptaan abah Iwan.
Atas jasanya menciptakan lagu yang memberikan inspirasi bagi generasi muda Indonesia, pada momentum peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-79 tahun 2007 pemerintah menganugerahinya piagam penghargaan berupa “Satya Lancana Wirakarya”. Penghargaan tersebut diberikan oleh Menpora, yang saat itu dijabat oleh Adhyaksa Dault.
Abah Iwan dikenal sebagai sosok yang pecinta lingkungan. Bahkan rumahnya yang terletak di kawasan Cigadung tampak rimbun dan asri dengan berbagai tanaman. Jadi, slogan cinta lingkungan benar-benar ia terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Fisiknya yang senantiasa tampak bugar, tak lepas dari aktivitasnya yang tak jauh dari olahraga. Pencak Silat yang ia tekuni sejak kecil, dan bersepeda. Malah pada tahun ’80-an hingga pertengahan ’90-an, alumni Fakultas Pertanian UNPAD ini mengikuti berbagai kursus kemiliteran yang dilangsungkan di Amerika, dan Inggris, maupun di Indonesia sendiri. Banyak para pendaki yang belum mengetahui bahwa pendekar silat tajimalela ini juga sudah lama menjadi anggota kehormatan KOPASSUS.
Menurut salah satu sahabat lamanya ( Suparkah/ W. Lawang Angin), abah iwan ompong ini mempunyai banyak kelebihan dibandingkan teman-teman yang lain, baik yang tergabung di wanadri maupun teman abah iwan non wanadri. Diantara kelebihan ini adalah ketangguhan fisik, berani menerima tantangan dengan segala resikonya, solidaritas yang kuat dengan teman-teman. Dan menurut Suparkah pula bahwa abah Iwan sangat perasa, mempunyai kepekaan yang sangat tajam, sentimental dan romantis. Semuanya ini tercermin dan nampak pada kebanyakan lagu-lagu ciptaan nya yang masterpiece seperti Melati Dari Jayagiri, Flamboyan, Sejuta Kabut, Seribu Mil Lebih Sedepa, Burung Camar, Berguru Pada Saliara, Nyanyian Langit dll.
“ Kerusakan lingkungan di cekungan Bandung? Sudah sangat, sangat parah, dan prediksi kerusakan lingkungan di Bandung Utara akan semakin parah, kecuali segera semua pihak, sekali lagi, semua pihak, menyadari dan ikhlas menyelaraskan perilaku masing-masing dengan gagasan-gagasan yang disimpulkan oleh para ahli. Pasti butuh kerelaan berkorban dan ketegasan. Harus ada semacam "revolusi sikap", kesadaran dan tekad bersama; saling mendukung dan saling mengingatkan; demi anak cucu. Kita ke depan dan demi catatan amal baik/ amal buruk setiap kita masing-masing. Dan, jangan lupa catatan ini dibawa mati, jadi bahan pertimbangan di "alam sana".
“ Menyadari keadaan hutan-hutan di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, bahkan hutan Sancang di tempat akang Garut Selatan, dirusak dengan berbagai alasan, yang kadang-kadang seolah-olah baik dan bahkan oleh orang-orang yang kita kenal, sungguh pilu! di dalam lagu "Nyanyian Langit" saya tulis: dan air mata meleleh didalam hatiku. Sekalipun kita kejar dengan ramai-ramai menanam pohon sebanyak-banyaknya, tidaklah mungkin mampu mengimbangi kehilangan pohon-pohon dengan ekosistemnya yang umurnya mungkin ratusan tahun. Namun, saya teringat riwayat yang diceritakan orang-orang tua kita bahwa konon Rasulullah SAW pernah berujar, seandainya pun esok hari kiamat, bila ada saja sebiji kurma di tanganmu, tanamkanlah itu!”
Di usianya yang menginjak 66 tahun, ia tidak ingin hanya sekedar duduk santai di teras rumah, atau bergelut dengan penyakit serius. Bahkan bapak lima anak tersebut belum ingin berhenti naik gunung, meski kini tak lagi sampai puncak.
Di antara seabrek aktivitasnya, hal terpenting bagi salah satu the legend Wanadri ini adalah selalu bersyukur dan berdoa. Hingga ia terus berusaha mengisi waktu hidup dengan kegiatan bermakna.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
MEMANG SIAPA SIH SOE HOK GIE?
MEMANG SIAPA SIH SOE HOK GIE ?
Kalau pertanyaan ini dilontarkan kira-kira 43 tahun yang lalu kala kali pertama saya mendak gunung( sekitar tahun 1970 ) atau sekitar 26 tahun yang lalu kala saya masih aktif di dalam kegiatan pendakian gunung dan operasi SAR atau di Volunteer Konservasi Alam Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, saya yakin jangankan 230 juta rakyat Indonesia ( yang pasti terbanyak tidak akan mengenal Gie), mungkin hanya sedikit sekali para pendaki gunung, penjelajah /penggiat alam bebas atau pecinta alam yang pernah mendengar nama yang agak sulit untuk dibaca dalam bahasa Indonesia,. Mungkin yang mengenal Soe hanya terbatas dikalangan anggota Mapala UI saja atau Wanadri atau para pendaki senior saja yg mengetahui dan mengenal sepak terjang dia dalam dunia pendakian gunung. Selain mereka, mungkin yang mengenal Gie hanyalah para demonstran angkatan 66 yang menumbangkan kekuasaan pemerintahan orde lama saja selain tentunya mahasiswa-mahasiswa di Fakultas Sastra UI saja yang kenal dia.
Beruntung diantara jumlah yang sedikit tadi, saya termasuk di dalamnya, karena kebetulan semua 4 kakak saya adalah mahasiswa UI (FH UI ) yang semuanya cukup menggemari hobby mendaki gunung dan lokasi kampusnya juga berseberangan dengan kampus Fakultas Sastra UI ( di kompleks daksinapati rawamangun Jakarta timur). Dan mereka cukup baik berteman dengan beberapa anak mapala UI baik yang berasal dari FHUI maupun dari lain fakultas seperti contohnya Nanu (alm) Dono (alm) , Kasino (alm) dan Rudy Badil , semuanya adalah personil warkop prambors). Ternyata semua personil group pelawak atau comedian yang paling fenomenal itu minus indro adalah semuanya adalah anggota Mapala UI. Jadi dari mereka semua saya tidak asing dengan nama-nama soe hok gie, herman o lantang. Rudy badil, Aristides katoppo, sinarmas jati dll.
Namun tatkala nicolas saputra berhasil memerankan tokoh Soe di film Gie dan meledak sukses diputar di berbagai gedung bioskop (full house) di berbagai kota-kota di di tanah air dengan berhasil mengumpulkan jutaan penonton ditambah beredarnya dvd-dvd (baik yang legal atau bajakan) di banyak tempat penjualan dvd di hampir semua propinsi , seperti letusan gunung merapi yang sangat hebat dan menjadi topik berita yang popular, tiba-tiba nama Gie menjadi kondang dan beken ( become the famous celebrity) di Indonesia.
Tapi meskipun masa sekarang sosok Gie sudah demikian terkenal kalau kita mencoba untuk melemparkan pertanyaan tentang siapa soe hok gie sebenarnya, maka kita akan mendapatkan beragam respon atau banyak jawaban tentang siapa sosok soe hok gie.
Sangatlah wajar jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.
MELAMUN DI ATAS GENTENG
“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.
“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.
Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.
CINA NASIONALIS YANG BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.
Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.
Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.
TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.
Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.
Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.
Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.
“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian (dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Kalau pertanyaan ini dilontarkan kira-kira 43 tahun yang lalu kala kali pertama saya mendak gunung( sekitar tahun 1970 ) atau sekitar 26 tahun yang lalu kala saya masih aktif di dalam kegiatan pendakian gunung dan operasi SAR atau di Volunteer Konservasi Alam Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango, saya yakin jangankan 230 juta rakyat Indonesia ( yang pasti terbanyak tidak akan mengenal Gie), mungkin hanya sedikit sekali para pendaki gunung, penjelajah /penggiat alam bebas atau pecinta alam yang pernah mendengar nama yang agak sulit untuk dibaca dalam bahasa Indonesia,. Mungkin yang mengenal Soe hanya terbatas dikalangan anggota Mapala UI saja atau Wanadri atau para pendaki senior saja yg mengetahui dan mengenal sepak terjang dia dalam dunia pendakian gunung. Selain mereka, mungkin yang mengenal Gie hanyalah para demonstran angkatan 66 yang menumbangkan kekuasaan pemerintahan orde lama saja selain tentunya mahasiswa-mahasiswa di Fakultas Sastra UI saja yang kenal dia.
Beruntung diantara jumlah yang sedikit tadi, saya termasuk di dalamnya, karena kebetulan semua 4 kakak saya adalah mahasiswa UI (FH UI ) yang semuanya cukup menggemari hobby mendaki gunung dan lokasi kampusnya juga berseberangan dengan kampus Fakultas Sastra UI ( di kompleks daksinapati rawamangun Jakarta timur). Dan mereka cukup baik berteman dengan beberapa anak mapala UI baik yang berasal dari FHUI maupun dari lain fakultas seperti contohnya Nanu (alm) Dono (alm) , Kasino (alm) dan Rudy Badil , semuanya adalah personil warkop prambors). Ternyata semua personil group pelawak atau comedian yang paling fenomenal itu minus indro adalah semuanya adalah anggota Mapala UI. Jadi dari mereka semua saya tidak asing dengan nama-nama soe hok gie, herman o lantang. Rudy badil, Aristides katoppo, sinarmas jati dll.
Namun tatkala nicolas saputra berhasil memerankan tokoh Soe di film Gie dan meledak sukses diputar di berbagai gedung bioskop (full house) di berbagai kota-kota di di tanah air dengan berhasil mengumpulkan jutaan penonton ditambah beredarnya dvd-dvd (baik yang legal atau bajakan) di banyak tempat penjualan dvd di hampir semua propinsi , seperti letusan gunung merapi yang sangat hebat dan menjadi topik berita yang popular, tiba-tiba nama Gie menjadi kondang dan beken ( become the famous celebrity) di Indonesia.
Tapi meskipun masa sekarang sosok Gie sudah demikian terkenal kalau kita mencoba untuk melemparkan pertanyaan tentang siapa soe hok gie sebenarnya, maka kita akan mendapatkan beragam respon atau banyak jawaban tentang siapa sosok soe hok gie.
Sangatlah wajar jika pertanyaan “Siapa Soe Hok Gie? akan dijawab orang berbeda-beda. Di mata mahasiswa ia adalah seorang demonstran tahun 60-an. Namun di mata pecinta alam dia adalah anak Mapala UI (Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Indonesia) yang tewas di Semeru tahun 1969.
MELAMUN DI ATAS GENTENG
“Gila! Umur 14 tahun dia sudah baca bukunya Gandhi, Tagore (Rabindranath Tagore, filsuf India-Red). Saya mungkin perlu waktu 10 tahun untuk bisa mengejar, puji Nicholas Saputra tentang Gie.
“Saya sering mendapatinya asyik membaca di bangku panjang dekat dapur, kenang kakaknya, sosiolog Arief Budiman yang kini menetap di Australia. Kakak perempuannya Dien Pranata punya kenangan berbeda. Ketika anak-anak sebayanya asyik mengejar layangan, Gie malah nongkrong di atap genting rumah. “Matanya menerawang jauh, seperti mencoba menyelami buku-buku yang dibacanya.
Selain membaca, Gie juga suka menulis buku harian. Sejak usia 15 tahun, setiap hari, ia menulis apa saja yang dialaminya. Catatan harian pertamanya bertanggal 4 Maret 1957, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP Stada. Catatan terakhir bertanggal 10 Desember 1969, hanya seminggu sebelum kematiannya.
CINA NASIONALIS YANG BERANI MENGKRITIK
Di zaman Gie, kampus menjadi ajang pertarungan kaum intelektual yang menentang atau mendukung pemerintahan Bung Karno. Sepanjang 1966-1969 Gie berperan aktif dalam berbagai demonstrasi. Uniknya ia tak pernah menjadi anggota KAMI, organisasi yang menjadi lokomotif politik angkatan 66.
Gie lebih banyak berjuang lewat tulisan. Kritiknya pada Orde Lama dan Presiden Soekarno digelar terbuka lewat diskusi maupun tulisan di media masa. Ketika pemerintahan Soekarno ditumbangkan gerakan mahasiswa Angkatan 66, Gie memilih menyepi ke puncak-puncak gunung ketimbang menjadi anggota DPR-GR.
Sebagai anak muda, walaupun suka mengkritik dan doyan menyendiri, Gie ternyata sangat “gaul. “Penampilannya, biasa aja. Tapi kenalannya orang berpangkat dan nama-nama beken. Saya tahu, karena sering ikut dia. Misalnya saat ambil honor tulisan di Kompas atau Sinar Harapan. Nggak terbayang dia bisa kenalan dengan penyair Taufik Ismail dan Goenawan Mohamad! “, kata Badil.
TEWAS DI PUNCAK SEMERU
“Saya selalu ingat kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol, pamit, sebelum ke Semeru, begitu penggalan catatan harian Gie, Senin, 8 Desember 1969. Seminggu setelah itu, ia bersama Anton Wiyana, A. Rahman, Freddy Lasut, Idhan Lubis, Herman Lantang, Rudy Badil, Aristides Katoppo berangkat ke Gunung Semeru.
Siapa mengira, itulah terakhir kalinya mereka mendaki bersama Gie. Tanggal 16 Desember 1969, sehari sebelum ulangtahunnya ke 27 Gie dan Idhan Lubis tewas saat turun dari puncak karena menghirup uap beracun. Herman Lantang yang berada di dekat Gie saat kejadian melihat Gie dan Idhan kejang-kejang, berteriak dan mengamuk. Herman sempat mencoba menolong dengan napas buatan, tapi gagal.
Musibah kematian Gie di puncak Semeru sempat membuat teman-temannya bingung mencari alat transportasi untuk membawa jenazah Gie ke Jakarta. Tiba-tiba sebuah pesawat Antonov milik AURI mendarat di Malang. Pesawat itu sedang berpatroli rutin di Laut Selatan Jawa, Begitu mendengar kabar kematian Gie, Menteri Perhubungan saat itu Frans Seda memerintahkan pesawat berbelok ke Malang. “Saat jenasah masuk ke pesawat, seluruh awak kabin memberi penghormatan militer. Mereka kenal Gie!, kata Badil.
Jenasah Gie semula dimakamkan di Menteng Pulo. Namun pada 24 Desember 1969, dia dipindahkan ke Pekuburan Kober Tanah Abang agar dekat dengan kediaman ibunya. Dua tahun kemudian, kuburannya kena gusur proyek pembangunan prasasti. Keluarga dan teman-temannya, memutuskan menumbuk sisa-sisa tulang belulang Gie.
“Serbuknya kami tebar di antara bunga-bunga Edelweiss di lembah Mandalawangi di Puncak Pangrango. Di tempat itu Gie biasa merenung seperti patung, kata Rudy Badil.
Soe Hok Gie (17 Desember 1942–16 Desember 1969) adalah salah seorang aktivis Indonesia dan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia Jurusan Sejarah tahun 1962–1969.
Soe Hok Gie menamatkan pendidikan SMA di Kolese Kanisius. Nama Soe Hok Gie adalah dialek Hokkian (dari namanya Su Fu-yi dalam bahasa Mandarin). Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari Provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina.
Ia adalah seorang anak muda yang berpendirian yang teguh dalam memegang prinsipnya dan rajin mendokumentasikan perjalanan hidupnya dalam buku harian. Buku hariannya kemudian diterbitkan dengan judul Catatan Seorang Demonstran (1983).
Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan. Dia adik kandung Arief Budiman atau Soe Hok Djin, dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang juga dikenal vokal dan sekarang berdomisili di Australia.
Hok Gie dikenal sebagai penulis produktif di beberapa media massa, misalnya Kompas, Harian Kami, Sinar Harapan, Mahasiswa Indonesia, dan Indonesia Raya. Sekitar 35 karya artikelnya (kira-kira sepertiga dari seluruh karyanya) selama rentang waktu tiga tahun Orde Baru, sudah dibukukan dan diterbitkan dengan judul Zaman Peralihan (Bentang, 1995).
Catatan Seorang Demonstran
Juga skripsi sarjana mudanya perihal Sarekat Islam Semarang, tahun 1999 diterbitkan Yayasan Bentang dengan judul Di Bawah Lentera Merah. Sebelumnya, skripsi S1-nya yang mengulas soal pemberontakan PKI di Madiun, juga sudah dibukukan dengan judul Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan (Bentang, 1997).
Sebagai bagian dari aktivitas gerakan, Soe Hok Gie juga sempat terlibat sebagai staf redaksi Mahasiswa Indonesia, sebuah koran mingguan yang diterbitkan oleh mahasiswa angkatan 66 di Bandung untuk mengkritik pemerintahan Orde Lama.
Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat tiga hari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Soe Hok Gie : GELISAH JIWA SANG PENDAKI/DEMONSTRAN TIADA BERUJUNGSoe Hok Gie : GELISAH JIWA SANG PENDAKI/DEMONSTRAN TIADA BERUJUNG
Soe Hok Gie : GELISAH JIWA SANG PENDAKI/DEMONSTRAN TIADA BERUJUNG
Peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan itu tetap masih melekat di benak dan jiwa Herman O Lantang, 74 tahun. (M 016-UI) … “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir sebelum puncak.
Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing-puing kayu yang tertutup abu licin. Target sampai pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda darurat), mereka istirahat Kabut tampak tebal di puncak Semeru. Aristides, Hok Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul belakangan.
“Man, jangan lama-lama di puncak, ya, cuacanya nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides itu ditujukan kepada Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun dari puncak dan berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah. Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing Herman.
Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”
Herman shock dan panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.
Sampai kapan pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”
============================
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus kita pahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.
Di sini, tentunya disertasi John Maxwell,” Soe Hok Gie, PERGULATAN INTELEKTUAL MUDA MELAWAN TIRANI “, menjadi tumpuan penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu memberi konteks situasional pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan menampilkan sosok Gie semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat watak kritis pemberontakannya mulai terbentuk.
Gie remaja tumbuh besar (diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan melebihi teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di bilangan Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan sempit itu, ia bergaul erat dengan anak-anak kampung.
Ayah Gie adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan sastrawan Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), tak pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing ayahnya. “Kami sering ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan Gadjah Mada. Gie senangnya meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln,” kenang Arief.
Pada waktu itu, ayahnya tak lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami kebatinan, buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah sering ke sana, kumpul-kumpul membicarakan religiusitas,” kata Arief. Di film ditampilkan peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti Kirana), lebih menonjol dari ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu, pasif. apatis. Tatapannya kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab, kata Arief, “Ayah saya memang di tengah keluarga (anak, isteri & kerabat) adalah sosok yang pendiam, tapi kalau dengan teman-temannya meriah.”
HUMANIS YANG EGALITER & PENYAYANG BINATANG
Simpati Gie pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah suatu kali ia membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok, teman sekolah asal Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk menginap di rumah. Hal itu kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok dicari bibinya. Adegan ini ada dalam film. Riri mengembangkannya. Hok (dalam film bernama Chin Han) saat dewasa menjadi kader PKI dan akhirnya diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini tambahan fiksi dari saya,” kata Riri.
Dalam film tak pernah diperlihatkan hubungan intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman mengakui, “Memang, hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik. Kami diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia, karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah semut. Gie yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong seperlunya saja.”
“MAT GAWAT”, PAHLAWAN REVOLUSI MUDA AMPERA TRITURA 1966
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Di Film “GIE” Riri Reza berusaha menampilkan karakter independensi, revolusioner & egaliterian Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Film menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian Ketua Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja. Sering saya dengar si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu serahkan si Uban,” tutur Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie. Herman mengakui Gie adalah “aktor intelektual” sekaligus “provokator” yang gigih untuk membujuk mereka semua naik gunung, juga kepada para mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik gunung adalah Meutia Hatta (putri sulung Bung Hatta).”
Film juga menampilkan Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat pemberontakan Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang disebut mobile head quarter karena berpindah-pindah itu, ia mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah di Indonesia. Tujuannya untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini dinamakannya Gerakan Pembaharuan.
Awal mula Gie terlibat Gerakan Pembaharuan adalah ketika ia sering nongkrong di bekas markas besar PSI, Jalan Cisadane, Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan, yang pernah dipenjara karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk untuk mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi sahabat-sahabat karibnya.
“Jaringan ini terdiri atas sekumpulan unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli Londa, dan Hok Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie Lasut. “Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri biasanya diselundupkan melalui pilot Garuda yang masuk dalam jaringan kita,” kenang Boeli.
Bersama mereka, Gie menyebarkan selebaran itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,” tutur Jopie Lasut. Di luar itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang dianggapnya anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di zaman Gus Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua Gabungan Satu Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar tentara betul-betul mengkritik Soekarno,” demikian Suripto mengkisahkan kembali.
Pada 1966, mahasiswa tumpah ke jalan secara besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di Fakultas Sastra UI berpawai dari Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang selalu resah,” kata Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas Ekonomi UI. Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.
Banyak yang melihat Gie sebagai sosok “MAT GAWAT”,yaitu seseorang yang hampir selalu melihat sebuah persoalan dengan kacamata/sosok pandang yang dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu menyampaikan bahwa Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.
Beberapa waktu kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas militernya. Dengan wajah serius sekali Gie berkata dengan suara seakan memberi laporan: “Tukang copet Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap dan akan segera bergerak begitu ada instruksi dari sini!”
“Yang gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense of dramatic -nya luar biasa,” kata Nono.
Pernah di kali lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan, membicarakan Zainal Zakse, wartawan Harian Kami yang terluka parah akibat tusukan bayonet dalam demo di depan Istana Presiden, 3 Oktober 1966, tiba-tiba Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan berbisik keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar. Tapi kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.
Karakter demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya tajam. Ringkas. Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie aktif menulis. “Setiap kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A. Dahana, guru besar Jurusan Sastra Cina UI. Tulisan-tulisannya juga dikumandangkan radio Ampera yang dikelola abangnya. “Sejak peristiwa PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak akrab, seperlunya saja,” kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.
Terkadang tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa melupakan ketika Gie ikut penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, lantaran dianggap terus mendukung PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat tembok kantor itu begitu cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan dokumen-dokumen di sana….”
================================
KOBOI MUDA YANG HARUS MATI MUDA
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
Meski Soekarno telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat banyak teman perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim BH dan lipstik kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk sebagai anggota DPR-GR,” Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu menjadi anggota Dewan sebagai wakil dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
“Konsepsi (philosopy) Gie mengenai peran mahasiswa itu seperti film koboi. SANG KOBOY harus turun gunung ketika kota kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi dan naik ke gunung lagi,” kata A. Dahana. Pada pemerintahan yang baru, Gie juga terpana menatap fakta adanya pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran terhadap anggota PKI dan warga yang diduga PKI. Ia menulis tajam dan keras. Ia kecewa, intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar Lubis termasuk yang menyokong penahanan ini.
“Hok Gie termasuk intelektual yang lebih awal mengkritik pembantaian PKI dan pemerintahan Rezim ORBA . Dia termasuk di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap menulis. “Tulisan-tulisan dia sangat tajam, sampai saya harus memotong tulisan itu banyak sekali.”
Kekecewaan lain pada Sumitro yang, setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam kabinet Orde Baru dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah saya menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset, tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.
Alinea yang dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian Mahasiswa Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat senada juga dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967. “Mereka mengeluh saya keras kepala…. But I can’t change my personality…. Pengobat dari semua kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam. Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati.”
Dalam akhir catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan teman-teman wanitanya. Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan nama-nama mereka yang dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina, dan Sunarti yang bukan nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia cinta berat sama Maria,” ujar Herman Lantang.
Di saat kesepian, tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami perjuangannya. Ia terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau ngomong soal cewek. Banyak berteori tentang cewek, sementara dirinya sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata Boeli Londa.
Dalam film, perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya hendak ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan ciuman dengan Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak menyebut sahabat perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman maupun Jopie Lasut tak percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya nggak yakin Hok Gie begitu. Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi, pasti ceweknya dulu yang memulai hahaha….”
John Maxwell melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi melihat masa depan negara ini.” There are men and women so lonely they believe God too is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu kesepian sehingga mereka percaya Tuhan pun kesepian)”, tulis Gie ketika umurnya 19 tahun. Pada usia 27 tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian abadinya. Dan sekarang Nicholas Saputra mengabadikan nya sebagai sebuah piala citra .
SALAM DAMAI ( SEMESTA ALAM ) LESTARI....estepe
(Sumber: Tempo Online, 2005, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno )
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Peristiwa yang amat tragis dan menyedihkan itu tetap masih melekat di benak dan jiwa Herman O Lantang, 74 tahun. (M 016-UI) … “Man, entar turunnya bareng gue. Lu, gue tunggu di sini,” kata Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie beristirahat di sebuah ceruk. Ia menggigil kedinginan. Udara Gunung Semeru sangat menusuk waktu itu,16 Desember 1969. Dari Ranu Kumbolo, sebuah danau di Gunung Semeru, Herman Lantang, Aristides Katoppo, Soe Hok Gie, Idhan Lubis, Freddy Lasut, Rudi Badil, Abdurachman, dan Wiyana bergerak menuju Arcopodo yang terletak pada ketinggian 3.200 meter di atas permukaan laut—pos terakhir sebelum puncak.
Perjalanan agak tersendat. Sebulan sebelumnya, hutan di kawasan Arcopodo terbakar. Mereka harus melalui jalur puing-puing kayu yang tertutup abu licin. Target sampai pukul 10 pagi meleset menjadi pukul 2 siang. Setelah membuka bivak (tenda darurat), mereka istirahat Kabut tampak tebal di puncak Semeru. Aristides, Hok Gie, Rudi, Freddy, dan Wiyana berjalan di depan. Herman, Idhan, dan Maman menyusul belakangan.
“Man, jangan lama-lama di puncak, ya, cuacanya nggak bagus,” kata Aristides. Kata-kata Tides itu ditujukan kepada Herman tatkala ia, Badil, Lasut, dan Wiyana telah turun dari puncak dan berpapasan dengan Herman yang baru naik. Saat menuju puncak itulah, Herman melihat Gie berjongkok di sebuah ceruk. Gie kelihatan lelah. Herman, Idhan, dan Maman tiba di puncak pukul 5 sore. Angin kencang, dan tiba-tiba mereka merasa pening. Maman setengah berlari turun. Idhan dibimbing Herman.
Ketika tiba di tempat Soe Hok Gie menunggu, Herman mendapati Gie terlihat lunglai. Herman yang memapah Idhan lalu juga memapah Gie. Tiba-tiba, Hok Gie seolah ingin melepaskan diri dari kekangan. “Meronta-ronta liar seperti ayam yang disembelih,” kenang Herman. Herman mencoba menenangkan, tapi Hok Gie terus meregang-regang tak terkendali, lalu diam. Herman yang memeluknya kemudian mengecek denyut nadi Hok Gie. “Tak berdenyut lagi.”
Herman shock dan panik. Sementara Idhan Lubis—keponakan Mochtar Lubis—juga tampak lunglai, dan ternyata meninggal pula. Herman makin panik. Setengah berlari ia turun ke Arcopodo. “Waktu itu saya berpikir saya juga mau mati. Dua teman saya telah tewas. Saking paniknya, ketika tiba di bivak, saya langsung minum air sebanyak-banyaknya. Satu veldples langsung tandas,” kata Herman.
Sampai kapan pun ia akan tetap ingat tragedi itu. Juga, ketika ia melihat film Gie besutan Riri Reza. Film tidak menampilkan adegan Semeru, tapi di akhir cerita ada sebuah memo berisi kabar buruk untuk Ira, sahabat dekat Gie. Juga, tak tampak pada film bagaimana sesungguhnya Hok Gie pada akhir hidupnya itu memiliki firasat bakal menghadapi maut. Pada 8 Desember 1969, setelah mendengar seorang teman masa kecilnya meninggal, Gie menulis:
“Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief Minggu yang lalu, saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru.”
============================
Film Gie bukanlah sebuah film seratus persen dokumenter atau sebuah biografi. Itu yang pertama-tama harus kita pahami. Film ini adalah sebuah usaha Riri menampilkan sosok seorang pemuda kritis yang terus-menerus gelisah dan menuliskan kegelisahannya sejak SMP sampai masa mahasiswa. Perhatian utamanya senantiasa soal kesewenang-wenangan. “Selalu mencatat dinamika zaman. I think the most interesting dari Gie,” kata Riri.
Di sini, tentunya disertasi John Maxwell,” Soe Hok Gie, PERGULATAN INTELEKTUAL MUDA MELAWAN TIRANI “, menjadi tumpuan penyusunan skenario. Buku ini terutama mampu memberi konteks situasional pada catatan harian Gie. Film dimulai dengan menampilkan sosok Gie semasa menjadi murid SMP Strada di Gambir 1955, fase saat watak kritis pemberontakannya mulai terbentuk.
Gie remaja tumbuh besar (diperankan Jonathan Mulia dengan baik) dengan melahap bacaan melebihi teman sebayanya. Betapapun demikian, itu tidak menjadikannya seorang kutu buku, malah di lingkungan rumahnya, Jalan Kebon Jeruk IX (di bilangan Mangga Besar, Hayam Wuruk) yang penuh persilangan jalan-jalan sempit itu, ia bergaul erat dengan anak-anak kampung.
Ayah Gie adalah novelis Soe Li Piet. Ia termasuk diperhitungkan di kalangan sastrawan Melayu-Tionghoa. Tapi Gie dan kakaknya, Soe Hok Djin (Arief Budiman), tak pernah meminjam koleksi atau bacaannya dengan dibimbing ayahnya. “Kami sering ke perpustakaan P dan K dekat rumah di Jalan Gadjah Mada. Gie senangnya meminjam buku tokoh-tokoh dunia seperti Abraham Lincoln,” kenang Arief.
Pada waktu itu, ayahnya tak lagi aktif di dunia jurnalistik dan sastra. Ia mendalami kebatinan, buku-buku teosofi dan Ki Ageng Suryomentaraman. “Di Jakarta dulu ada Taman Blavatsky (diambil dari nama pendiri perkumpulan teosofi). Ayah sering ke sana, kumpul-kumpul membicarakan religiusitas,” kata Arief. Di film ditampilkan peran ibu mereka, Nio Hoei (dimainkan oleh Tuti Kirana), lebih menonjol dari ayah. Sang ayah dimainkan oleh Robby Tumewu, sering ditampilkan duduk termangu, pasif. apatis. Tatapannya kosong. Entah tafsir yang benar atau tidak. Sebab, kata Arief, “Ayah saya memang di tengah keluarga (anak, isteri & kerabat) adalah sosok yang pendiam, tapi kalau dengan teman-temannya meriah.”
HUMANIS YANG EGALITER & PENYAYANG BINATANG
Simpati Gie pada yang teraniaya memang sudah ada sejak ia kecil. Pernah suatu kali ia membawa (dengan maksud menyelamatkan) Tjoe Tjin Hok, teman sekolah asal Tangerang yang sering dipukuli bibinya, untuk menginap di rumah. Hal itu kemudian menimbulkan ketegangan ketika Hok dicari bibinya. Adegan ini ada dalam film. Riri mengembangkannya. Hok (dalam film bernama Chin Han) saat dewasa menjadi kader PKI dan akhirnya diperlihatkan dieksekusi tentara di pantai. “Ini tambahan fiksi dari saya,” kata Riri.
Dalam film tak pernah diperlihatkan hubungan intim antara Gie dan sang kakak. Arif Budiman mengakui, “Memang, hubungan saya dengan Soe Hok Gie sejak remaja kurang baik. Kami diam-diaman sampai sekitar 1965/1966,” kenang Arif Budiman. Menurut dia, karena soal sangat sepele, yaitu lantaran Arief merusak sebuah rumah semut. Gie yang pencinta binatang itu marah. “Akhirnya, ngomong seperlunya saja.”
“MAT GAWAT”, PAHLAWAN REVOLUSI MUDA AMPERA TRITURA 1966
Kampus Fakultas Sastra UI Rawamangun adalah tempat Gie sehari-hari beraktivitas. Di Film “GIE” Riri Reza berusaha menampilkan karakter independensi, revolusioner & egaliterian Gie. Ia muak terhadap Soekarno tapi tak ingin ikut organisasi berbasis agama atau underbouw partai. Mahasiswa jurusan sejarah itu merasa cocok bergaul dengan kawan-kawan pencinta alam, yang dianggapnya murni dan jujur. Betapapun demikian, ia tetap membina banyak kontak terutama dengan Gerakan mahasiswa Sosialis, organ Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang kalah pada Pemilu 1955 dan kemudian dilarang oleh Soekarno.
Film menampilkan persahabatan akrabnya dengan Herman Lantang, yang kemudian Ketua Senat UI. “Teman-teman Gie semua senangnya naik gunung saja. Sering saya dengar si Herman itu bicara: kalau soal-soal politik begitu serahkan si Uban,” tutur Arief Budiman. Uban adalah julukan buat Gie. Herman mengakui Gie adalah “aktor intelektual” sekaligus “provokator” yang gigih untuk membujuk mereka semua naik gunung, juga kepada para mahasiswi. “Yang pernah dihasut Hok Gie dan mau naik gunung adalah Meutia Hatta (putri sulung Bung Hatta).”
Film juga menampilkan Gie sebagai bagian jaringan Sumitro Djojohadikusumo. Mantan Dekan Fakultas Ekonomi ini menentang Soekarno dan dinilai terlibat pemberontakan Permesta. Ia lalu melarikan diri ke luar negeri dan berpindah-pindah dari negara satu ke negara lain. Dari domisilinya yang disebut mobile head quarter karena berpindah-pindah itu, ia mengkoordinasi dan membuat jaringan bawah tanah di Indonesia. Tujuannya untuk melemahkan rezim Soekarno. Gerakan ini dinamakannya Gerakan Pembaharuan.
Awal mula Gie terlibat Gerakan Pembaharuan adalah ketika ia sering nongkrong di bekas markas besar PSI, Jalan Cisadane, Jakarta. Di situ ia bertemu dengan Henk Tombokan, yang pernah dipenjara karena terlibat Permesta dan oleh Sumitro lalu ditunjuk untuk mengkoordinasi jaringan di Jakarta. Di situlah Gie berkenalan dengan Boeli C.H. Londa dan Jopie Lasut, aktivis Gemsos yang kemudian menjadi sahabat-sahabat karibnya.
“Jaringan ini terdiri atas sekumpulan unit-unit otonom atau case officers (CO). Saya, Boeli Londa, dan Hok Gie ikut sebagai anggota kelompok dengan nama CO5,” kata Jopie Lasut. “Setiap kiriman uang atau materi selebaran dari Sumitro di luar negeri biasanya diselundupkan melalui pilot Garuda yang masuk dalam jaringan kita,” kenang Boeli.
Bersama mereka, Gie menyebarkan selebaran itu. “Gie juga aktif membuat materi pamflet,” tutur Jopie Lasut. Di luar itu, Gie aktif berhubungan dengan tentara yang dianggapnya anti-Soekarno. Soeripto (mantan Sekjen Departemen Kehutanan di zaman Gus Dur), yang saat itu jadi penghubung antara militer anti-Soekarno dan mahasiswa, termasuk yang sangat akrab dengan Gie. “Pada waktu itu, saya pertemukan Gie dengan Brigadir Jenderal Yoga Sugama, Wakil Ketua Gabungan Satu Komando Operasi Tertinggi. Kepada Yoga, Gie meminta agar tentara betul-betul mengkritik Soekarno,” demikian Suripto mengkisahkan kembali.
Pada 1966, mahasiswa tumpah ke jalan secara besar-besaran. Gie bersama “gengnya” di Fakultas Sastra UI berpawai dari Salemba ke Rawamangun. “Dia man of action yang selalu resah,” kata Fikri Jufri, jurnalis senior—waktu itu jebolan Fakultas Ekonomi UI. Fikri melihat Hok Gie selalu menyempal bikin demo sendiri.
Banyak yang melihat Gie sebagai sosok “MAT GAWAT”,yaitu seseorang yang hampir selalu melihat sebuah persoalan dengan kacamata/sosok pandang yang dramatis. Nono Anwar Makarim agak sepakat. Hal yang tak pernah dilupakannya tentang Gie: suatu malam, di bilangan Pabrik Angin Jalan Minangkabau ia didatangi orang yang belum dikenal. Orang itu menyampaikan bahwa Hok Gie sedang mencarinya untuk dimintai petunjuk.
Beberapa waktu kemudian, datanglah Gie lengkap dengan ransel kanvas militernya. Dengan wajah serius sekali Gie berkata dengan suara seakan memberi laporan: “Tukang copet Senen dan buruh Tanjung Priok sudah siap dan akan segera bergerak begitu ada instruksi dari sini!”
“Yang gini-gini lho yang bikin kami bingung dalam berinteraksi dengan Hok Gie. Sense of dramatic -nya luar biasa,” kata Nono.
Pernah di kali lain, saat Nono berkumpul dengan beberapa rekan, membicarakan Zainal Zakse, wartawan Harian Kami yang terluka parah akibat tusukan bayonet dalam demo di depan Istana Presiden, 3 Oktober 1966, tiba-tiba Hok Gie datang dengan tas kanvasnya dan berbisik keras-keras: “Ibrahim Adjie turun dari Bandung dengan tiga batalion Kujang untuk melindungi Soekarno dan menghabisi kita.” “Bisa dibayangkan bagaimana deg-degannya jantung. Terbukti bahwa berita itu tidak benar. Tapi kami semuanya sudah sempat mulas perut,” kenang Nono.
Karakter demikian juga tampak dalam gaya tulisan Gie. Tulisan-tulisannya tajam. Ringkas. Dan langsung ke sasaran tanpa tedeng aling-aling. Gie aktif menulis. “Setiap kali ia dapat honor, kita ditraktir,” ujar A. Dahana, guru besar Jurusan Sastra Cina UI. Tulisan-tulisannya juga dikumandangkan radio Ampera yang dikelola abangnya. “Sejak peristiwa PKI, kami mulai bicara lagi, tetapi tetap tidak akrab, seperlunya saja,” kata Arief Budiman. Siaran Ampera saat itu di rumah Mashuri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan waktu itu, di Jalan H. Agus Salim.
Terkadang tindakan Gie bisa mencengangkan. Boeli Londa tak bisa melupakan ketika Gie ikut penyerangan kantor berita RRC, Xin Hua, di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, lantaran dianggap terus mendukung PKI. “Saya terkagum-kagum Hok Gie memanjat tembok kantor itu begitu cepat, menduduki kantor berita itu, lalu memusnahkan dokumen-dokumen di sana….”
================================
KOBOI MUDA YANG HARUS MATI MUDA
“…Orang-orang yang dahulu gelandangan bersama saya tiba-tiba mau memberikan kuliah pada saya tentang taktik perjuangan. “Soe apa yang kaubilang benar, tetapi kita harus realis. Jangan ekstrem-ekstreman. Berbahaya. Sampai detik ini saya tidak pernah merasa saya ekstrem. Kalau saya melihat korupsi, manipulasi, dekadensi moral dan lalu saya katakan, mereka bilang ekstremis… (dari “I Remember Merapi”)
Meski Soekarno telah runtuh, Gie tetap gelisah. Ia merasa sesak melihat banyak teman perjuangan lalu menjadi anggota DPR dan MPRS. “Dia mengirim BH dan lipstik kepada kami, para bekas aktivis mahasiswa yang duduk sebagai anggota DPR-GR,” Nono Anwar Makarim mengakui. Nono waktu itu menjadi anggota Dewan sebagai wakil dari IPMI, Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.
“Konsepsi (philosopy) Gie mengenai peran mahasiswa itu seperti film koboi. SANG KOBOY harus turun gunung ketika kota kacau. Tapi setelah aman, koboi pergi dan naik ke gunung lagi,” kata A. Dahana. Pada pemerintahan yang baru, Gie juga terpana menatap fakta adanya pembunuhan massal dan penahanan besar-besaran terhadap anggota PKI dan warga yang diduga PKI. Ia menulis tajam dan keras. Ia kecewa, intelektual yang dia kagumi seperti Mochtar Lubis termasuk yang menyokong penahanan ini.
“Hok Gie termasuk intelektual yang lebih awal mengkritik pembantaian PKI dan pemerintahan Rezim ORBA . Dia termasuk di baris depan,” kata Rahman Toleng, bekas Pemimpin Redaksi Mahasiswa Indonesia, koran yang terbit di Bandung, tempat Gie kerap menulis. “Tulisan-tulisan dia sangat tajam, sampai saya harus memotong tulisan itu banyak sekali.”
Kekecewaan lain pada Sumitro yang, setelah kembali dari pengasingan politik, ikut dalam kabinet Orde Baru dan kalangan dekatnya didesas-desuskan penuh korupsi. “Pernah saya menulis di Harian Kami, judulnya: Soemitro: Kembalinya Sebuah Aset, tiba-tiba saya dikritik Gie habis,” kata Fikri Jufri.
Alinea yang dikutip dari “I Remember Merapi” di atas—ditulis Gie di harian Mahasiswa Indonesia, Minggu 4 Juli 1967—menunjukkan keresahannya. Surat senada juga dikirimkan kepada Herman Lantang pada 25 Desember 1967. “Mereka mengeluh saya keras kepala…. But I can’t change my personality…. Pengobat dari semua kekecewaan ini membuat Gie balik kembali ke alam. Gunung adalah tempat segala kemurnian dan keteguhan hati.”
Dalam akhir catatan hariannya, Gie tampak ingin bertemu mesra dengan teman-teman wanitanya. Dalam catatan hariannya ia seolah menyembunyikan nama-nama mereka yang dikasihinya. Ia sering menyebut nama Maria, Rina, dan Sunarti yang bukan nama-nama asli. Dari ketiganya, sepertinya dia cinta berat sama Maria,” ujar Herman Lantang.
Di saat kesepian, tidak dimengerti teman, dan merasa muak terhadap keadaan, Gie mengharapkan seorang wanita yang bisa mendampingi dan memahami perjuangannya. Ia terasa melankolis. “Hok Gie itu mau sok dewasa kalau ngomong soal cewek. Banyak berteori tentang cewek, sementara dirinya sendiri kayaknya tidak berdaya,” kata Boeli Londa.
Dalam film, perasaan melankolis, perasaan tak berdaya, mengambang, itu tampaknya hendak ditonjolkan juga. Dalam sebuah adegan, Gie digambarkan melakukan ciuman dengan Sinta (diperankan Wulan Guritno). Riri dalam film juga tak menyebut sahabat perempuan Gie dengan nama-nama asli. Tapi baik Herman maupun Jopie Lasut tak percaya adegan itu betul-betul terjadi. “Ah, saya nggak yakin Hok Gie begitu. Saya kira, kalau memang itu pernah terjadi, pasti ceweknya dulu yang memulai hahaha….”
John Maxwell melihat, di akhir hidupnya, Gie makin frustrasi, makin kecewa—depresi melihat masa depan negara ini.” There are men and women so lonely they believe God too is lonely (ada pria dan wanita yang merasa begitu kesepian sehingga mereka percaya Tuhan pun kesepian)”, tulis Gie ketika umurnya 19 tahun. Pada usia 27 tahun, di Semeru, ia menemukan kesunyian abadinya. Dan sekarang Nicholas Saputra mengabadikan nya sebagai sebuah piala citra .
SALAM DAMAI ( SEMESTA ALAM ) LESTARI....estepe
(Sumber: Tempo Online, 2005, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, L.N. Idayanie, Evieta Fajar, Suseno )
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Mendaki Gunung Spiritual
Mendaki Gunung Spiritual
(Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini Harian Tribun Timur, Hari Rabu Tgl 29 Agustus 2012)
OLEH : ANDI SUMANGELIPU
Pernahkah anda mendaki gunung? mungkin ya, mungkin juga belum. Namun kita tahu bahwa seorang pendaki, saat memulai pendakian di kaki gunung, sudah barang tentu puncak sudah tervisualisasi dalam benak dan pikirannya. Keinginan mencapai puncak adalah suatu tujuan. Seorang pendaki baru puas jika sudah mencapai puncak. Dari ketinggian puncak sebuah gunung menciptakan suasana yang begitu sulit diucapkan dengan kata-kata. Selain keindahan panorama alam, berdiri di atas puncak suatu gunung, sadar ataupun tidak, ada sebentuk keindahan yang mengalir dalam diri kita yang mewakili kebesaran Tuhan yang tiada henti-hentinya. Begitu banyak pujian dan rasa syukur yang terucap mengalir dengan berbagai bahasa hati yang terkadang kita sendiri tidak memahami bentuknya. Pencapaian titik puncak membuat kita lupa akan sulitnya medan pendakian yang menanjak serta berbatu cadas yang terkadang harus membuat kita merayap, memanjat di tengah hujan badai, hawa dingin dan terik panas matahari.
Kepuasan yang tercipta saat mencapai titik puncak membuat kita seakan-akan lupa dengan proses perjalanan yang rumit yang bisa memakan waktu berhari-hari, tak jarang diperhadapkan dengan berbagai macam halangan dan hambatan baik berupa cuaca yang buruk maupun kemungkinan gangguan binatang buas serta kekurangan bekal bahan makanan.
Sejenak jika dipikirkan, hambatan-hambatan yang berbagai macam dalam perjalanan itu saja, dapat membuat hati kita mengurungkan niat untuk melakukan suatu pendakian.
Pendakian mencapai puncak suatu gunung, memiliki kesamaan dengan pencapaian puncak spiritual kita. Dalam mendaki puncak spiritual menjalaninya tentu saja kita akan diperhadapkan banyak hambatan berupa cobaan dan ujian dari Tuhan. Titik puncak adalah simbol dari suatu ketinggian derajat spiritual atau maqam seseorang, dan inilah yang ingin dicapai oleh setiap manusia dalam menempuh perjalanan spiritualnya.
Dalam menempuh perjalanan spiritual mencapai puncak, seorang pesuluk atau katakanlah para pencari Tuhan sebelum melakukan perjalanan terlebih dahulu melakukan persiapan-persiapan tertentu demi kelancaran suatu perjalanan. Sebagaimana seorang pendaki gunung, seorang pesuluk harus memiliki gambaran mengenai gunung yang akan didaki, jika sebelumnya belum pernah mendaki gunung maka diperlukan seorang guide atau pembimbing. Katakanlah pembimbing ini disebut seperti Rasul, Nabi, Mursyid, Avatar atau mungkin Kyai, Pendeta, Rahib, Biksu dan sebagainya. Selain itu peta perjalanan dalam hal ini adalah Syariat. Secara bahasa syariat berarti jalan, petunjuk jalan agar tidak tersesat di jalan. Jika nanti tersesat kita mesti kembali lagi ke peta syariat. Untuk melanjutkan perjalanan ke puncak.
Dalam mendaki gunung, tujuan sama, yaitu mencapai puncak, dalam hal ini adalah Tuhan. Orang boleh berbeda dalam memilih jalan, syariat, tarikat, mashab ataupun agama, namun tujuan sama yaitu puncak Tuhan. Ada yang menuju puncak dengan jalan berputar mengelilingi lereng gunung sampai akhirnya mencapai puncak. Ada yang memulai dari sebelah Utara, Selatan, Barat, dan Timur, pun sampai di puncak.
Sebahagian orang ada yang merintis, melintas, atau membuka jalan-jalan baru (tarikat baru, ajaran baru) dengan tetap berlandaskan dengan “kompas Tuhan” dan peta ketuhanan yang sudah digariskan oleh Tuhan melalui Nabi – nabi-Nya yang sampai kepada suatu kaum melalui sebuah Kitab Suci. Dan manusia pun menuju puncak.
Dalam perjalanan pun tidak semata-mata terus berjalan tanpa henti. Tapi ada pos-pos tertentu singgah untuk beristirahat atau sekedar duduk istirahat, tidur, makan dan minum (berhubungan dengan urusan duniawi) karena ini bisa menjadi bahan bakar untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Meskipun begitu, namun sebahagian kecil orang (orang istimewa), yang sudah makan garam melintasi gunung, hanya memerlukan waktu yang singkat untuk istirahat dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Ada juga yang hanya sekali atau dua kali saja singgah istirahat kemudian berjalan lagi. Orang – orang inilah yang sudah diliputi akan kerinduan dengan suasana puncak ke-Tuhanan. Di antara orang-orang istimewa ini, yang sudah sering melakukan perjalanan, yang sudah berkali-kali naik-turun gunung, ada juga yang mampu membawa “suasana puncak” di setiap pos-pos perjalanannya, sehingga dimana pun dia berada, dia senantiasa merasakan suasana seperti jika sudah berada di titik puncak gunung. Sudah tak ada lagi perbedaan baginya. Kenikmatan yang dirasakannya di puncak dapat pula dia nikmati di kaki-kaki maupun di lereng-lereng gunung. Sebegitu nikmatnya, hal yang sama dia rasakan pun jika menempuh perjalanan dengan jalan berbeda-beda, jalan berliku-liku dan kadang tersesat jauh ke dalam hutan. Baginya tak ada lagi sesat, tidak ada lagi kebuntuan. Kerapnya melakukan perjalanan sehingga dia mengenali benar setiap Inci gunung tersebut, di mana ada jalan buntu, dia sudah tahu betul, dia sudah rasakan betul, karena pernah menjalaninya. Baginya, tidak ada lagi beda antara puncak dan kaki gunung. Tidak ada lagi beda antara jalan buntu ataupun jalan yang lurus. Toh dia sudah membawa puncak gunung itu dalam dirinya. Orang seperti ini pastilah orang yang sudah pernah merasakan dan mencapai titik puncak berkali-kali.
Namun sebagian orang nampaknya lebih memilih jalan yang sudah ada, yang sudah dibuat dan dirintis oleh para pendaki ulung sebelumnya. Selain tidak berani menempuh resiko yang fatal jika merintis jalan baru, juga karena takut tak akan pernah merasakan suasana puncak karena terlalu lama menempuh suatu perjalanan yang dikarenakan terlalu seringnya singgah beristirahat (kesibukan duniawi) di dalam suatu perjalanan, ataupun terlalu lama beristirahat di setiap persinggahan dalam perjalanan atau bahkan mungkin terlalu sering mendapatkan jalan buntu dan terlalu sering tersesat dijalan. Sehingga, jangankan mencapai puncak berkali-kali, waktu habis (umur habis) sebelum pernah merasakan dan mencapai bagaimana titik puncak itu. Sehingga orang seperti saya yang masih terlena dengan suasana istirahat (duniawi) dalam pos-pos perjalanan, hanya bisa berusaha untuk memaksimalkan proses-proses dalam perjalanan. Syukur-syukur jika bisa sampai pada titik puncak, jika tidak, maka saya hanya bisa menciptakan suasana seolah-olah beginilah puncak itu, “seakan-akan” puncak, atau mencari tahu suasana puncak itu seperti apa dari para pendaki gunung yang sudah berkali-kali ke puncak gunung.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
(Tulisan ini pernah dimuat di Rubrik Opini Harian Tribun Timur, Hari Rabu Tgl 29 Agustus 2012)
OLEH : ANDI SUMANGELIPU
Pernahkah anda mendaki gunung? mungkin ya, mungkin juga belum. Namun kita tahu bahwa seorang pendaki, saat memulai pendakian di kaki gunung, sudah barang tentu puncak sudah tervisualisasi dalam benak dan pikirannya. Keinginan mencapai puncak adalah suatu tujuan. Seorang pendaki baru puas jika sudah mencapai puncak. Dari ketinggian puncak sebuah gunung menciptakan suasana yang begitu sulit diucapkan dengan kata-kata. Selain keindahan panorama alam, berdiri di atas puncak suatu gunung, sadar ataupun tidak, ada sebentuk keindahan yang mengalir dalam diri kita yang mewakili kebesaran Tuhan yang tiada henti-hentinya. Begitu banyak pujian dan rasa syukur yang terucap mengalir dengan berbagai bahasa hati yang terkadang kita sendiri tidak memahami bentuknya. Pencapaian titik puncak membuat kita lupa akan sulitnya medan pendakian yang menanjak serta berbatu cadas yang terkadang harus membuat kita merayap, memanjat di tengah hujan badai, hawa dingin dan terik panas matahari.
Kepuasan yang tercipta saat mencapai titik puncak membuat kita seakan-akan lupa dengan proses perjalanan yang rumit yang bisa memakan waktu berhari-hari, tak jarang diperhadapkan dengan berbagai macam halangan dan hambatan baik berupa cuaca yang buruk maupun kemungkinan gangguan binatang buas serta kekurangan bekal bahan makanan.
Sejenak jika dipikirkan, hambatan-hambatan yang berbagai macam dalam perjalanan itu saja, dapat membuat hati kita mengurungkan niat untuk melakukan suatu pendakian.
Pendakian mencapai puncak suatu gunung, memiliki kesamaan dengan pencapaian puncak spiritual kita. Dalam mendaki puncak spiritual menjalaninya tentu saja kita akan diperhadapkan banyak hambatan berupa cobaan dan ujian dari Tuhan. Titik puncak adalah simbol dari suatu ketinggian derajat spiritual atau maqam seseorang, dan inilah yang ingin dicapai oleh setiap manusia dalam menempuh perjalanan spiritualnya.
Dalam menempuh perjalanan spiritual mencapai puncak, seorang pesuluk atau katakanlah para pencari Tuhan sebelum melakukan perjalanan terlebih dahulu melakukan persiapan-persiapan tertentu demi kelancaran suatu perjalanan. Sebagaimana seorang pendaki gunung, seorang pesuluk harus memiliki gambaran mengenai gunung yang akan didaki, jika sebelumnya belum pernah mendaki gunung maka diperlukan seorang guide atau pembimbing. Katakanlah pembimbing ini disebut seperti Rasul, Nabi, Mursyid, Avatar atau mungkin Kyai, Pendeta, Rahib, Biksu dan sebagainya. Selain itu peta perjalanan dalam hal ini adalah Syariat. Secara bahasa syariat berarti jalan, petunjuk jalan agar tidak tersesat di jalan. Jika nanti tersesat kita mesti kembali lagi ke peta syariat. Untuk melanjutkan perjalanan ke puncak.
Dalam mendaki gunung, tujuan sama, yaitu mencapai puncak, dalam hal ini adalah Tuhan. Orang boleh berbeda dalam memilih jalan, syariat, tarikat, mashab ataupun agama, namun tujuan sama yaitu puncak Tuhan. Ada yang menuju puncak dengan jalan berputar mengelilingi lereng gunung sampai akhirnya mencapai puncak. Ada yang memulai dari sebelah Utara, Selatan, Barat, dan Timur, pun sampai di puncak.
Sebahagian orang ada yang merintis, melintas, atau membuka jalan-jalan baru (tarikat baru, ajaran baru) dengan tetap berlandaskan dengan “kompas Tuhan” dan peta ketuhanan yang sudah digariskan oleh Tuhan melalui Nabi – nabi-Nya yang sampai kepada suatu kaum melalui sebuah Kitab Suci. Dan manusia pun menuju puncak.
Dalam perjalanan pun tidak semata-mata terus berjalan tanpa henti. Tapi ada pos-pos tertentu singgah untuk beristirahat atau sekedar duduk istirahat, tidur, makan dan minum (berhubungan dengan urusan duniawi) karena ini bisa menjadi bahan bakar untuk melanjutkan perjalanan berikutnya. Meskipun begitu, namun sebahagian kecil orang (orang istimewa), yang sudah makan garam melintasi gunung, hanya memerlukan waktu yang singkat untuk istirahat dan kemudian melanjutkan perjalanannya. Ada juga yang hanya sekali atau dua kali saja singgah istirahat kemudian berjalan lagi. Orang – orang inilah yang sudah diliputi akan kerinduan dengan suasana puncak ke-Tuhanan. Di antara orang-orang istimewa ini, yang sudah sering melakukan perjalanan, yang sudah berkali-kali naik-turun gunung, ada juga yang mampu membawa “suasana puncak” di setiap pos-pos perjalanannya, sehingga dimana pun dia berada, dia senantiasa merasakan suasana seperti jika sudah berada di titik puncak gunung. Sudah tak ada lagi perbedaan baginya. Kenikmatan yang dirasakannya di puncak dapat pula dia nikmati di kaki-kaki maupun di lereng-lereng gunung. Sebegitu nikmatnya, hal yang sama dia rasakan pun jika menempuh perjalanan dengan jalan berbeda-beda, jalan berliku-liku dan kadang tersesat jauh ke dalam hutan. Baginya tak ada lagi sesat, tidak ada lagi kebuntuan. Kerapnya melakukan perjalanan sehingga dia mengenali benar setiap Inci gunung tersebut, di mana ada jalan buntu, dia sudah tahu betul, dia sudah rasakan betul, karena pernah menjalaninya. Baginya, tidak ada lagi beda antara puncak dan kaki gunung. Tidak ada lagi beda antara jalan buntu ataupun jalan yang lurus. Toh dia sudah membawa puncak gunung itu dalam dirinya. Orang seperti ini pastilah orang yang sudah pernah merasakan dan mencapai titik puncak berkali-kali.
Namun sebagian orang nampaknya lebih memilih jalan yang sudah ada, yang sudah dibuat dan dirintis oleh para pendaki ulung sebelumnya. Selain tidak berani menempuh resiko yang fatal jika merintis jalan baru, juga karena takut tak akan pernah merasakan suasana puncak karena terlalu lama menempuh suatu perjalanan yang dikarenakan terlalu seringnya singgah beristirahat (kesibukan duniawi) di dalam suatu perjalanan, ataupun terlalu lama beristirahat di setiap persinggahan dalam perjalanan atau bahkan mungkin terlalu sering mendapatkan jalan buntu dan terlalu sering tersesat dijalan. Sehingga, jangankan mencapai puncak berkali-kali, waktu habis (umur habis) sebelum pernah merasakan dan mencapai bagaimana titik puncak itu. Sehingga orang seperti saya yang masih terlena dengan suasana istirahat (duniawi) dalam pos-pos perjalanan, hanya bisa berusaha untuk memaksimalkan proses-proses dalam perjalanan. Syukur-syukur jika bisa sampai pada titik puncak, jika tidak, maka saya hanya bisa menciptakan suasana seolah-olah beginilah puncak itu, “seakan-akan” puncak, atau mencari tahu suasana puncak itu seperti apa dari para pendaki gunung yang sudah berkali-kali ke puncak gunung.
Sumber:
www.facebook.com/pages/Estepe/140819622782636
Langganan:
Postingan (Atom)